Jakarta, SAWIT INDONESIA – Direktur PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Dr. Tungkot Sipayung berpandangan penjarahan tandan buah segar (TBS) dan permasalahan legalitas lahan sawit dalam punya dampak terhadap program hilirisasi sawit nasional.
“Penjarahan TBS sering terjadi khususnya jika harga TBS sedang bagus bagusnya. Penjarahan TBS selain perbuatan melawan hukum dan ajaran agama, pastilah merugikan perkebunan sawit. Biasanya kerugian perkebunan sawit dua kali kena jika memiliki pabrik sawit,” ujar Tungkot saat dihubungi, Senin (29/1/2024).
Pertama, ujar dia, perusahaan rugi karena kehilangan TBS (pendapatan berkurang), kedua, perusahaan terpaksa membeli lebih banyak TBS dari pihak ketiga (luar) untuk memenuhi kebutuhan TBS pabriknya karena meningkatkan biaya pembelian TBS.
“Jadi penjarahan TBS tidak hanya karena ada pabrik tanpa kebun. Tetapi daerah dimana tidak ada pabrik tanpa kebun, penjarahan TBS pun sering terjadi dan tak jarang juga melibatkan orang dalam,” jelas Tungkot.
Terkait apakah penjarahan ini mempengaruhi program hilirisasi sawit, menurutnya secara kuantitatif TBS yang dijarah tersebut tetap berada pada supply chain CPO nasional. Kecuali hasil jarahan TBS-nya dijual ke luar negeri.
“Karena volume CPO yang diperlukan utuk hilirisasi domestik tidak berubah, maka hal tersebut tidak mengganggu hilirisasi,” ungkapnya.
Berbeda dengan penjarahan TBS, masalah ketidakpastian legalitas, menurut Tungkot hal ini secara tidak langsung mempengaruhi hilirisasi khususnya jangka panjang. Sebab, kata dia, ketidakpastian legalitas membuat pemilik kebun tidak sungguh sungguh memelihara kebun sawitnya.
“Investasi yang diperlukan untuk perbaikan kebun, untuk peningkatan protas misalnya enggan atau penuh berisiko dilakukan karena ketidak pastian legalitas. Hal ini dalam jangka panjang menurunkan produksi CPO nasional. Jika penurunan tersebut cukup signifikan maka berpotensi mengganggu hilirisasi sawit domestik,” ujar Tungkot.
Sebagai informasi, masalah legalitas lahan merupakankebijakan pemerintah yang dinilai makin tidak menentu bagi pelaku usaha. Salah satunya kebijakan soal ketidakpastian penyelesaian kawasan hutan yang berlarut-larut. Akibatnya, industri terombang ambing dalam ketidak pastian.
Masalah lain yang membuat “pusing” pelaku sawit adalah status HGU (Hak Guna Usaha) kebun sawit. Kebun yang telah berstatus HGU tetap harus mengurus pelepasan kawasan hutan. Walaupun, kedudukan hukum HGU lebih tinggi lebih tinggi kekuatan hukumnya dibandingkan kawasan hutan yang baru sebatas penunjukan.
Penulis: Indra Gunawan