JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Seminggu setelah lebaran, harga TBS (Tandan Buah Segar) terus merosot semakin rendah. Berdasarkan data Posko Harga TBS APKASINDO periode 17-29 April, harga TBS petani sawit bermitra anjlok menjadi rerata Rp2.100 – Rp2.200/kg, dari sebelumnya rerata Rp2.600 – Rp2.900/kg.
Di tingkat petani swadaya, harga TBS petani sangat rendah di beberapa Provinsi sawit seperti Sulawesi Selatan, Banten, Kaltara, Sulbar, Sultra, Papua dan beberapa provinsi lainnya. Harga TBS Petani Swadaya di pabrik sawit sudah anjlok diharga Rp1.650 – Rp1.800/kg, dibandingkan awal April lalu masih bertengger di harga Rp2.200 – Rp2.350/kg.
Saat ini, penurunan harga TBS petani terutama swadaya mencapai Rp1.000 – Rp1.250/kg TBS. Kondisi inilah yang dialami 17 juta petani sawit dan pekerja sawit dari Aceh sampai Papua.
Fery Harianja, Petani sawit dari Riau lebih menyoroti besarnya harga pokok produksi (HPP) per kg TBS. Di Riau harga TBS Petani sawit tidak ada bedanya dengan provinsi lain, sama-sama anjlok, bahkan ada pabrik sawit yang membeli harga TBS Petani Rp1.700/kg. Biaya pokok produksi per 1 Kg TBS menurut berbagai sumber saat ini Rp2.000-2.150/kg TBS.
”Tapi harga TBS kami di bawah Rp2.000, tekor, bagaimana bisa kami makan dan berkelanjutan. Itu belum lagi kalau kami petani sawit menjual TBS ke RAM (pedagang pengumpul TBS) harganya menjadi Rp1.250-1.400/kg. Perlu di catat bahwa 70% petani swadaya menjual hasil panennya ke RAM dengan berbagai alasan, jadi bisalah dibayangkan betapa rawannya ketahanan ekonomi dikalangan petani sawit,” ungkap Fery.
Redaksi Majalah Sawit Indonesia telah menghubungi Ardi Praptono, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian RI.”Terkait Harga TBS dapat menghubungi Direktur PPHP Perkebunan (red- Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan) untuk tupoksi pemasaran,” ujarnya.
Setelah itu, redaksi telah mengirimkan pesan kepada Prayudi Syamsuri, Direktur PPHP Perkebunan berkaitan anjloknya harga TBS sawit di petani swadaya. Namun, belum ada jawaban yang dikirimkan kepada redaksi.
Menanggapi kegelisahan Petani sawit diseluruh Provinsi APKASINDO, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA,C.APO, melihat masalah ini bukan masalah harga CPO sedang anjlok yang berakibat “teparnya” harga TBS Petani, tapi cenderung “tanpa-kendali”. Seharusnya kementerian terkait membuat regulasi tentang batas terendah harga TBS Petani. Dan disaat ditetapkannya harga terendah TBS tersebut maka BPDPKS memainkan peranannya. “Tidak seperti sekarang BPDPKS cenderung “menonton” dengan segala pelayanan opersional per bulan yang didapat dari keringat petani sawit melalui beban TBS Rp300/kg (PE=$100/MT). “
Selanjutnya Gulat menjelaskan, bahwa berbagai alasan selalu dimanfaatkan oleh pebisnis minyak sawit supaya bagaimana bisa membeli TBS dengan harga semurah-murahnya. Setelah berhasil mem “frame” harga CPO murah, maka pabrik sawit akan membanting dua kali lipat ke bawah harga TBS Petani.
Lihat saja harga CPO hari Jumat (28/4), hasil tender CPO di KPN adalah Rp10.600, berarti terjadi penurunan harga CPO sejak awal bulan April lalu sebesar Rp2.000/kg. Menurut rumus yang berlaku secara umum, bahwa setiap penurunan atau naik Rp1.000 harga CPO, maka harga TBS akan tertekan atau naik rerata Rp300/kg.
Jika harga CPO sudah anjlok sampai Rp2.000/kg, kan harusnya harga TBS hanya tertekan rerata Rp600/kg. “Tapi faktanya anjloknya harga TBS Petani sampai Rp1.200/kg. Gulat mengatakan ini sangat tidak adil dalam persaingan usaha, investasi kami petani sawit tidak dihargai sama sekali, ini sudah mematikan usaha hulu paling bawah petani kelapa sawit yang berkecimpung 42% dari total luas perkebunan sawit Indonesia.
“Makanya adalah benar bahwa wasit yang menjaga perjalanan hulu-hilir sawit di Indonesia sepertinya tidak ada yang mengontrol. Kalau autopilot mungkin masih bagus, asalkan semua indikator sudah dimasukkan dalam sistem autopilot tersebut. Tapi kan yang dimasukkan Kemendag dan Kemenkeu hanya besaran bea keluar dan pungutan ekspor (levy) untuk perlindungan iklim usaha petani tidak ada sama sekali. Dua kementerian ini tutup mata dengan kondisi eksisting petani sawit pada berbagai kejadian, seperti saat ini,” urai Gulat.
Gulat berharap kementerian terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan BPDPKS dapat mengendalikan situasi buruk yang dihadapi petani sawit.
“Hasil rapat Kementerian tersebut harus dikawal oleh Aparat Penegak Hukum (Kejagung dan Mabes Polri) atas apapun keputusan yang diambil oleh kementerian tersebut ” harap Gulat.
Gulat memahami bahwa negara pembeli minyak sawit terbesar sedang mengurangi pembelian produk minyak sawit dan turunannya. Karena harga minyak nabati pesaing minyak sawit sedang murah dan berlimpah dan diikuti anjloknya harga minyak fosil.
Tapi perlu juga dicatat bahwa produktivitas TBS petani saat ini sedang anjlok sampai 50% akibat berbagai hal diwaktu sebelumnya, seperti minimnya pemupukan dan perawatan kebun sawit petani.
“Harusnya lesunya pesanan negara-negara tujuan ekspor CPO, diberlakukannya B35 dan anjloknya produksi TBS petani tidak berakibat ambruknya harga TBS petani separah saat ini. Solusi apa yang perlu diambil untuk menjaga petani sawit jangan “bangkrut massal,” ujar Gulat.
Gulat menuturkan 17 juta petani dan Pekerja Sawit dari 22 Provinsi APKASINDO sangat berharap kepada Satgas Pangan Nasional untuk menyampaikan kondisi kami petani sawit dan memberikan masukan kepada Presiden Jokowi bahwa situasi ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja, berpotensi merapuhkan ekonomi Indonesia jika ketahanan pangan dari sektor perkebunan sawit rakyat tidak segera dijaga dan dikawal.