JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dengan segala tantangan dan dinamika yang ada sepanjang 2022 lalu, industri sawit masih menunjukkan kinerja positif. Bahkan mampu mencatat, nilai ekspor US$ 39,28 miliar atau setara Rp 621,1 Triliun (kurs Rp 15.600) lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), saat konferensi pers pada Rabu, (25 Januari 2023), di Jakarta.
Menurut Joko, segala tantangan dan dinamikanya bisa menghadapi industri sawit, tetapi dari sisinya value-nya (devisa) pada tahun lalu, perolehannya tertinggi. “Ini membuktikan bahwa sawit berperan penting pada perekonomian Indonesia. Meski di tahun lalu menghadapi tantangan yang cukup sulit tetapi perolehannya cukup besar (ekspor non migas),” ucapnya.
Seperti diketahui, tahun 2022 di Indonesia ada beberapa peristiwa yang tidak biasa seperti cuaca yang ekstrim basah, lonjakan kasus Covid-19 pada Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia di bulan Februari, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April – 23 Mei, harga pupuk yang tinggi dan sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Ini yang berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor.
Situasi ini berkontribusi terhadap pencapaian produksi CPO tahun 2022 sebesar 46,729 juta ton yang lebih rendah dari produksi tahun sebelumnya. Bahkan, dalam tahun 4 terakhir produksi cenderung terus turun/stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.
Dari sisi konsumsi dalam negeri tahun 2022 secara total mencapai 20,968 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 18,422 juta ton. Konsumsi didominasi untuk industri pangan sebesar 9,941 juta ton yang lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 8,954 juta ton dan lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi sebesar 9,860 juta ton. Konsumsi untuk industri oleokimia mencapai 2,185 juta ton yang hanya 2,8% sedikit lebih tinggi tahun 2021 sebesar 2,126 juta ton dan jauh lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4% dan 2018- 2019 sebesar 60% yang diduga berhubungan dengan situasi pandemi Covid-19. Konsumsi untuk biodiesel 2022 mencapai 8,842 juta ton yang lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,342 juta ton.
Sementara, dari sisi ekspor 2022 sebesar 30,803 juta ton lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, berturut-turut selama 4 tahun terakhir ekspor turun. Meski jumlah ekspor turun, tetapo nilai ekspor tahun 2022 mencapai US$ 39,28 miliar (CPO, olahan dan turunannya), lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar.
“Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021. Sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia berturut-turut adalah China, India, USA, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia. Peringkat USA naik dari peringkat 5 pada tahun 2020 menjadi peringkat 3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada tahun 2022,” jelas Joko.
Dengan pencapaian produksi, konsumsi dalam negeri dan ekspor seperti disampaikan di atas, stok minyak sawit di dalam negeri diperkirakan mencapai 3,658 juta ton. Berdasarkan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi, maka faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi harus segera diatasi.
Kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023. Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari 2023.
Meski industri sawit menunjukkan kinerja positif di tahun lalu, ia memberikan catatan terutama pada sisi produksi. Produksi sawit sudah 4 tahun terakhir tidak mengalami pertumbuhan atau stagnan, padahal kebutuhan domestiknya terus meningkat.
“Bahkan di tahun ini pemerintah menaikkan campuran Biodiesel menjadi B35, pasti kebutuhan domestik akan naik. Sementara, dari sisi ekspor 4 tahun berturut-turut mengalami penurunan. Ini juga menjadi catatan, karena eskpor menjadi andalan devisa dan Pajak Ekspor (PE). Kondisi pada 2022 lalu menang paling tidak normal. Mudah mudahan ini bisa dimenej, sehingga dinamika yang terlalu bergejolak tidak terjadi lagi di tahun ini. Khususnya untuk ekspor dan produksi, kalau konsumsi domestik relatif stabil,” kata Joko dihadapan awal media.