RSPO kembali dikritik oleh Greenpeace International. Lantaran, tidak menindak tegas anggotanya yang disinyalir menjadi pelaku kebakaran hutan di Riau. Berdasarkan data LSM internasional ini, 39% dari total hotspot api berada di konsesi anggota RSPO.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mendapatkan kritikan dari Greenpeace International mengenai masalah kebakaran di hutan Riau. Kritikan ini dimulai ketika Riau dilanda kebakaran hutan selama beberapa bulan terakhir yang imbasnya juga dirasakan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Dalam rilisnya pada 11 Juli kemarin, Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace International, menyebutkan RSPO gagal mencegah anggotanya untuk mengantisipasi kebakaran hutan. Yang terjadi, anggota RSPO malahan menciptakan kondisi yang menjadi penyebab kebakaran dan ini terlihat dari kegiatan operasi perusahaan tersebut.
“RSPO sebaiknya mengatasi masalah kegiatan pengeringan di lahan gambut dan kerusakan hutan yang berlabel sustainable akibat dari kriteria RSPO. Sudah saatnya, perusahaan kelapa sawit untuk meningkatkan standar yang lebih tinggi dibandingkan RSPO,” kata Bustar.
Pernyataa ini selanjutnya ditanggapi RSPO pada 15 Juli bahwa Greenpeace tidak objektif dalam analisis kebakaran hutan di Sumatera. Seperti telah dilaporkan bahwa sektor bisnis kelapa sawit berkontribusi sekitar 20% dalam kebakaran tersebut, hanya segelintir dari perusahaan yang menjadi penyebab kebakaran ini adalah anggota RSPO.
“Bagaimanapun, puncak kebakaran hutan terpantau ada 9000 titik api dan 80% diantaranya ada diluar perkebunan kelapa sawit. Pada kenyataaannya, sektor bisnis bubur kertas teridentifikasi memiliki lebih banyak titik api dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Semestinya, Greenpeace menginvestigasi lebih dalam sektor ini,” sebagaimana tercantum dalam rilis RSPO.
Temuan baru dari analisa pemetaan Greenpeace Internasional pada 3 September kemarin, memperlihatkan deforestasi yang signifikan terjadi pada konsesi-konsesi yang dimiliki oleh anggota industri minyak sawit berkelanjutan terbesar, yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Yang mengejutkan, konsesi milik anggota RSPO bertanggung jawab atas 39% dari total titik api perkebunan sawit di Riau selama periode Januari hingga Juni 2013.
“Tahun demi tahun kebakaran hutan dan kabut asap dari Indonesia menyebarkan malapetaka di wilayah ini, dan sektor minyak sawit adalah pelaku utamanya. Sementara anggota-anggota RSPO barangkali tidak memiliki kebijakan tanpa bakar, tetapi lahan gambut yang sudah dikeringkan sangat mudah tersulut, hanya butuh satu percikan,” ujar Bustar Maitar dalam rilisnya.
Sejak Juni, Greenpeace telah menghubungi lebih dari 250 perusahaan yang menjadi pembeli minyak sawit dan menanyakan bagaimana mereka memastikan bahwa rantai pasokan mereka tidak terkait dengan kerusakan hutan. Namun sebagian besar jawaban yang diterima hingga kini menunjukan bahwa hampir seluruh perusahaan semata-mata
“Merek-merek kebutuhan rumah tangga yang dijual di toko-toko swalayan tidak dapat bergantung pada RSPO untuk menjaminan bahwa mereka tidak terlibat dalam kerusakan hutan,” tegas Areeba Hamid, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Internasional.
Sampai berita ini dibuat, RSPO belum mengirimkan tanggapan atas pernyataan Greenpeace. Pertanyaan lewat email yang dikirimkan pihak redaksi kepada Desi Kusumadewi, selaku Direktur Eksekutif RSPO Indonesia, tidak memberikan jawaban. Namun dalam keterangan pertengahan Juli kemarin, RSPO mengajak Greenpeace untuk bekerjasama menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan penggunaan lahan gambut, dibandingkan mengekspose masalah ini ke media. (Qayuum Amri)