JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Maraknya gerakan boikot sawit di negara-negara Eropa berpotensi meningkatkan deforestasi dalam rangka memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia. Dalam kajian ilmiah, kelapa sawit lebih efisien dalam penggunaan dan lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan bahwa kampanye food labelling banyak terjadi di negara-negara Uni Eropa seperti penggunaan label bebas sawit di produk makanan. Penggunaan label bebas sawit ini salah satu tujuannya ingin mengatakan minyak sawit buruk bagi kesehatan.
“Penggunaan label bebas sawit ini juga bagian marketing gimmick. Terdapat strategi kompetisi antar minyak nabati. Cara ini merupakan bagian dari gerakan penolakan minyak sawit di Eropa,” jelas Joko saat memberikan sambutan dalam Webinar bertema Palm Oil in Food: Health Issue and Market Trend, Selasa (26 Oktober 2021).
Saat ini, gerakan penolakan minyak sawit telah terjadi di sektor energi seperti biodiesel. Di Uni Eropa, aspek legislasi berjalan untuk mem-phase out kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Joko mengatakan kampanye anti sawit melalui strategi pelabelan produk makanan ini ini terus membesar. Wilayah kampanye tidak saja di Eropa melainkan juga disebarkan ke penjuru dunia termasuk Indonesia.
“Gerakan kampanye anti sawit ini tidak layak dan tidak bijaksana. Apabila kelapa sawit digantikan minyak nabati lain. Maka, deforestasi di dunia semakin meningkat,” jelasnya.
Dalam berbagai kajian ilmiah, dikatakan Joko, produktivitas sawit lebih tinggi empat kali dari minyak nabati lain. Dari segi penggunaan lahan juga lebih efisien. Setiap tahun, kebutuhan minyak nabati dunia bertambah 5 juta ton. Ini artinya, deforestasi semakin meningkat sebagai dampak kampanye anti sawit.
“Dampak deforestasi semakin parah kalau sawit digantikan vegetable oil lain. Gerakan mengganti palm oil bukan solusi. Solusinya adalah penerapan minyak sawit yang berkelanjutan,” urai Joko.
Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), komoditas minyak nabati lainnya membutuhkan lahan sembilan kali lebih besar dibandingkan kelapa sawit. Jika kelapa sawit digantikan oleh tanaman penghasil minyak nabati lainnya, maka akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem hutan tropis dan savana di Amerika Selatan.
Pada 2050, diperkirakan kebutuhan minyak nabati dunia sebesar 310 juta ton. Saat ini minyak kelapa sawit berkontribusi sebesar 35% dari total kebutuhan minyak nabati dunia, dengan konsumsi terbesar di India, China, dan Indonesia. Adapun proporsi penggunaannya adalah 75% untuk industri pangan dan 25% untuk industri kosmetik, produk pembersih dan biofuel.