JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencanangkan 2021 menjadi tahun kemitraan antara anggota GAPKI dengan petani sawit. Hal ini diungkapkan Kacuk Sumarto, Wakil Ketua Umum GAPKI Bidang Organisasi, dalam diskusi webinar bertemakan “Kemitraan di Industri Kelap Sawit Kaitannya Dengan Persaingan Usaha”, Jakarta, Rabu (3 Januari 2021).
“Kemitraan ini telah dicantumkan dalam perundang-undangan, artinya menjadi kewajiban. GAPKI akan programkan 2021 menjadi tahun kemitraan yang saling menguntungkan dan berkeadilan,” ujar Kacuk.
Diskusi webinar ini menghadirkan pembicara antara lain Prof. Ningrum Sirait (Guru Besar Fakultas Hukum USU), Ir. Achmad Mangga Barani, MM ( Pendiri FP2SB), Prof. Ponten Naibaho, dan Ramli Simanjuntak (Kepal Kanwil KPPU Sumatera Utara).
Kepada sawitindonesia.com, Kacuk menjelaskan bahwa GAPKI akan meminta kepada para anggota (khususnya yang belum bermitra, atau sudah bermitra tetapi tidak cukup luasan minimum kemitraannya) untuk mendata petani-petani yang ada sekitar daerahnya (dalam satu kabupaten). Baik petani yang kebunnya masih produktif maupun sudah mulai tidak produktif untuk diajak bermitra (jika tidak terikat kemitraan dengan pihak lain, atau petani mandiri).
“Jika pohonnya masih produktif maka diajak bermitra dalam pemeliharaan, panen dan pembelian buah serta kegiatan ekonomi lainnya yang memungkinkan seperti ternak ayam dan itik,” ujar Kacuk.
Dikatakan Kacuk apabila kebun sudah memasuki waktu peremajaan (replanting) maka petani diajak bermitra untuk replanting melalui pola PSR-BPDPKS. Tentu sejak awal, pola kemitraan ini akan membentuk kelembagaannya mulai verifikasi CP-CL sampai dengan rekomtek dan perjanjian tiga pihak (Bekerja sama, berkoordinasi dengan Disbun setempat). Kemudian dilanjutkan dengan tumbang, olah tanah, penanaman, pemeliharaan sampai panen dan pembelian buah. “Ini bisa seluruhnya tetapi bisa juga sebagian dari seluruh proses itu,” kata Kacuk.
Selain itu, dikatakan Kacuk GAPKI akan koordinasi dengan Disbun/Ditjenbun untuk meneliti kelompok tani yang belum bermitra untuk kemudian dijodohkan kepada perusahaan (anggota GAPKI) terdekat yang belum bermitra (atau belum cukup luas kemitraannya).
“Untuk suksesnya, memang harus ada koordinasi yang erat antara, GAPKI (Pusat/Cabang), Anggota, Disbun Setempat (sampai Ditjendbun) dan BPDPKS serta petani yang bersangkutan,” ujarnya.
Berkaitan PSR, Ditjen Perkebunan menargetkan 180 ribu hektare tahun ini yang akan tersebar di 21 provinsi dan 107 kabupaten/kota. Menurut Kacuk, GAPKI akan memetakan objek PSR untuk dapat saling bermitra yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan kegiatan sebagaimana dijelaskan tadi. Syaratnya, butuh keterbukaan Disbun dan Ditjenbun untuk bersama-sama membangun kerja sama antar pihak terkait.
“Dalam kata lain GAPKI berperan sebagai tukang kadi (menjodohkan/mengawinkan) antara petani dengan perusahaan anggota GAPKI,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Ramli Simanjuntak, Kepala Kanwil KPPU Sumatera Utara , mengatakan KPPU memiliki kewenangan dalam pengawasan dan penegakan hukum atas pelaksanaan. kemitraan antara perusahaan sawit dengan petani sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20/2008 tentang UMKM jo PP Nomor 17/2013.
“Kami minta pemerintah untuk memperjelas kewajiban bermitra (perusahaan dengan petani) melalui regulasi. Dalam pelaksanaan kemitraan, harus jelas hak maupun kewajiban baik perusahaan dan petani sawit. Perjanjian kemitraan harus jelas seperti ada sanksi (apabila terjadi pelanggaran),” pungkasnya.
Achmad Mangga Barani menjelaskan bahwa kemitraan usaha dalam perkebunan kelapa sawit memiliki konsep dan pengaturan sangat ideal dan dikembangkan melalui beberapa pola walaupun ditemukan sejumlah permasalahan.
“Kemitraan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, pekebun, dan masyarakat sekitar serta menjaga keamanan, keberlanjutan, dan keutuhan usaha perkebunan,” jelasnya.
Kacuk menyebutkan kemitraan berkeadilan adalah keharusan dan tentu ini harus seiring dengan saling menguntungkan. Untuk hal tersebut, semuanya harus terukur termasuk mutu buah, biaya pabrik (langsung tak langsung), harga jual (CPO dan TBS sawit) termasuk komponen ongkos angkutnya. Sehingga sepanjang periode tertentu (bulanan) baru dihitung bagi hasilnya. Tidak berdasarkan harga buah yang ditetapkan sebelumnya.