JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kebijakan pungutan CPO di sektor perkebunan dan industri sawit sebesar US$ 50 per ton dituding berdampak buruk bagi sektor perkebunan maupun industri CPO. Berdasarkan laporan yang diterima Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu dari para petani sawit dan pekerja perkebunan sawit di Kalimantan,Sumatera dan Sulawesi bahwa pungutan CPO mengakibatkan harga TBS turun.
Gatot Triyono, Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, menyebutkan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit terjun bebas hingga Rp 300 hingga Rp 500 per kilogram dimana sebelum adanya penerapan pungutan ekspor CPO harga TBS terakhir pada bulan Juli 2015 di kisaran Rp 800-Rp 1100 per kilogram.
Dikatakan Gatot, jatuhnya harga TBS akibat pungutan mengakibatkan kesulitan petani sawit untuk pembiayaan perawatan kebun sawit sepertinya kurangnya pemupukan akibat harga TBS yang rendah yang tidak bisa lagi untuk membeli pupuk sesuai kebutuhan.
“Terjun bebasnya harga TBS juga berdampak kemampuan petani untuk pembayaran angsuran bulanan kredit pinjaman pembangunan kebun sawit petani dari bank. Dan akan berdampak kredit macet di sektor perbankan,” kata Gatot dalam rilis yang diterima redaksi.
Menurut Gatot, sektor UKM di sekitar perkebunan sawit seperti pedagang klontong ,rumah makan juga sudah banyak berteriak akibat turunnya omset mereka dan menumpuknya tagihan hutang akibat penurunan daya beli petani sawit dan pekerja perkebunan.
Pungutan CPO sebesar US$ 50 per ton dinilai menimbulkan PHK pekerja di perusahaan perkebunan baik pekerja harian maupun pekerja kontrak. Gatot menilai daya saing CPO Indonesia kalah dengan Malaysia karena Malaysia sudah memberlakukan pajak ekspor CPO 0%.
Menurutnya, ada ketidakadilan dalam kebijakan pungutan CPO yang dikenakan pada sektor perkebunan sawit karena hasil pungutan pajak eksport tersebut digunakan untuk subsidi industri biofuel yang berbahan dasar CPO. Sebab petani sawit dan perusahaan perkebunan sawit tidak menikmati subsidi BBM dalam melakukan aktifitasnya.
“Kebijakan pungutan ini harus direvisi lantaran kontra produktif dan meyebabkan turunnya investasi baru disektor perkebunan,” pungkas Gatot.