JAKARTA, SAWITINDONESIA – Asosiasi industri sawit mengeluhkan ketidaksiapan pemerintah dalam mekanisme pungutan CPO. Kebijakan pungutan yang resmi berjalan pada 16 Juli kemarin tidak diikuti dengan sosialisasi teknis kepada instansi pelaksana seperti Bea Cukai. Akibatnya, kegiatan ekspor cpo dan produk hilir tertahan di sejumlah pelabuhan.
Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), menjelaskan kebijakan ini terburu-buru dan dipaksakan ini terlihat dari ketidaksiapan regulasi teknis yang mendukung program pungutan CPO. Sebagai contoh, pemerintah menyatakan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2015 tentang perubahan Bea Keluar Barang yang merupakan revisi atas PMK 128/2013. Dan PMK 133/2015 sebagai pengganti PMK 114/2015 mengenai tarif layanan BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.
“Sudah seminggu kepala kita pusing gara-gara masalah ini. Katanya, aturan sudah keluar tapi belum kami terima,” kata Togar dalam perbincangan dengan media pada Kamis (23/7).
Menurut Togar, aturan tersebut belum tersosialisasikan secara merata di institusi yang terkait kegiatan ekspor seperti bea cukai. Di satu pelabuhan, masih ada aparat bea cukai meminta eksportir membayar bea keluar untuk produk hilir CPO. Padahal, kebijakan yang berlaku sekarang ini pungutan CPO.
“Pemerintah pernah berjanji ekspor produk sawit tidak kena pungutan berganda. Tapi, ada eksportir yang kena juga. Memang di pelabuhan lain, ada aparat bea cukai yang sudah tahu regulasi terbaru. Ini menunjukkan terjadi ketidakseragaman informasi di antara institusi,” ungkap Togar.
Dia menyayangkan kurang sigapnya Kementerian Keuangan sebagai institusi yang berwenang menerbitkan aturan teknis sekaligus mensosialisasikan kepada institusi dan SDM terkait di lapangan. Kalaupun alasannya libur panjang semestinya sudah dapat diantisipasi dengan baik. Sebab, kegiatan ekspor tidak bisa berhenti dan tetap berjalan selama 24 jam.
“Regulasi tidak sampai di lapangan karena beberapa aturan keluar pada 14 dan 15 Juli. Sampai sekarang belum diedarkan. Yang kami soroti PMK mengenai bea keluar CPO. Banyak eksportir bingung dan pembayaran lama karena adu argumentasi dengan aparat bea cukai,” keluh Togar.
Hendra Gondawidjaja, Pengurus Dewan Minyak Sawit Indonesia, menyebutkan aturan teknis terkesan carut marut di lapangan. Dalam hal ini sudah, asosiasi sudah meminta penjelasan dari kementerian terkait. “Aturan yang dibuat kurang teliti dan tidak komunikatif dengan pelaku usaha,” imbuhnya.
Togar menyebutkan pelaku usaha mendukung penuh kebijakan pungutan CPO yang dibuat pemerintah. Ini terbukti dari jumlah setoran pungutan ekspor yang mencapai Rp 50,4 miliar dari 16 Juli sampai 23 Juli. “Pelaku usaha mendukung pungutan CPO dan tetap membayar. Tapi, Kementerian Keuangan mesti bertanggungjawab terkait mekanisme pungutan CPO ini, ” keluh Togar.
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengatakan jika pemerintah tidak secepatnya memberesi masalah ini yang paling dirugikan kalangan pelaku usaha. Pasalnya, mereka bisa terlambat mengapalkan barang sehingga dibebani biaya tunggu kapal (demurrage cost).
Secara nasional, kata Sahat, ekspor minyak sawit yang ditargetkan 21 juta ton diperkirakan tidak akan tercapai apabila pemerintah tidak segera menuntaskan masalah ini. Tahun lalu, ekspor CPO dan produk turunannya sebanyak 20,8 juta ton.
“Dampak lainnya ekspor minyak sawit Indonesia tidak akan kompetitif dengan Malaysia. Sampai semester pertama ini, ekspor sawit malaysia terus naik 35 persen,” ujarnya.
Menurut Sahat, ketidaksiapan aturan teknis pungutan ekspor CPO dan produk turunan serta SDM aparat berpotensi menghambat target ekspor sebesar 300 persen dalam lima tahun mendatang