Untuk menghadapi Asean Community 2015, pemerintah diminta membenahi pelabuhan dan kepabeanan. Hal ini untuk mendukung kegiatan ekspor produk kelapa sawit ke berbagai negara tujuan.
Progam pemerintah yang mendorong industri hilir kelapa sawit sudah menunjukkan perubahan signifikan. Komposisi ekspor produk hilir sawit yang mencapai 60% dari total ekspor adalah faktanya. Namun demikian, hambatan masih ditemukan pelaku eksportir terutama di pelabuhan.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mempertanyakan sejauh mana kesiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi ASEAN Community yang akan berlaku pada 2015. Terutama kegiatan ekspor di Indonesia tidak terlepas dari kesiapan pembangunan infrastruktur di pelabuhan. Yang terjadi sekarang ini, aktivitas bongkar dan angkut barang masih terbilang lama contohnya produk minyak sawit dan turunannya.
“Yang menjadi masalah lagi adalah aktivitas pelabuhan hanya terbatas selama lima hari kerja. Semestinya, pelabuhan itu beroperasi 7 hari dan 24 jam,” ujarnya.
Kalau waktu kerja pelabuhan terbatas, kata Sahat Sinaga, eksportir tidak maksimal dalam mengirim barang. Bahkan berpotensi dapat terkena penalti dari pembeli. Kendala lain yang dihadapi pelabuhan bukan saja dari jam kerja, melainkan fasilitas pelabuhan yang sangat minim akibatnya mengganggu proses pengangkutan barang.
Joko Supriyono, Sekjen GAPKI, sempat mengatakan biaya pengiriman CPO dari wilayah Indonesia Timur ke pelabuhan ekspor seperti Belawan dan Dumai, telah meningkat menjadi Rp 400-Rp 500 per kilogram. Sebelumnya, biaya masih di kisaran Rp 200 per kilogram. Kenaikan ini disebabkan tidak adanya pelabuhan ekspor yang mempunyai fasilitas baik.
Di pelabuhan, hambatan datang pula dari ketidakpastian aturan main dan regulasi pemerintah. Sebagai contoh, kata Sahat Sinaga, beberapa produk turunan kelapa sawit disalahtafsirkan dalam pemberian HS Number. Sebagai informasi, HS Number ini digunakan Bea Cukai dalam mengidentifikasi produk. Nantinya, HS Number ini akan berguna pula dalam penetapan pajak.
Yang terjadi pada akhir tahun 2013, tiga kelompok besar kelapa sawit mengalami masalah di kepabeanan. Mereka adalah Wilmar Grup, Musim Mas, dan Permata Hijau Grup. Khususnya mengenai ketidaksesuaian pemberlakuan HS kepada produk ekspornya. Sahat Sinaga mencontohkan salah satu produk ekspor turunan sawit yaitu palm wax dikenakan pajak ekspor karena kesalahan pemberian HS. Palm wax ini diekspor ke Filipina yang berjumlah 2.100 bags.
“Semestinya mereka bebas bea keluar. Dampak dari kejadian ini, ekspor produknya mundur ke Januari 2014 dan tetap kena pajak ekspor,” kata Sahat Sinaga.
Produk turunan lainnya adalah by product biodiesel yang sudah direfinasi. Semestinya tidak kena bea keluar malahan kena pajak sebesar 2%. Menurut Sahat Sinaga, hal ini disebabkan pihak Bea Cukai belum memahami rangkaian turunan dari produk minyak sawit yang diolah. Dampaknya, pelaku usaha merugi karena telah mengeluarkan investasi untuk menghasilkan produk tadi.
Sahat Sinaga meminta supaya Bea Cukai dapat memperbaharui informasinya mengenai produk turunan kelapa sawit. Caranya dapat bertukar informasi langsung dengan asosiasi. Langkah lain, dapat mengikuti rekomendasi Badan Kebijakan Fiskal yang meminta dasar penetapan bea masuk dan bea keluar adalah nama dan jenis produk serta terdapat spesifikasi standar. Bukan hanya berbasis HS sebagaimana dijalankan Bea Cukai selama ini. (Qayuum Amri)