Eksportir sawit merasa dipersulit di pelabuhan. Mereka meminta sawit tidak masuk jalur merah Bea Cukai. Selain itu, masih ada miskomunikasi dalam memahami pungutan CPO antar aparat terkait.
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengeluhkan adanya aturan kepabeanan yang mempersulit keluarnya produk sawit di pelabuhan. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Bernomor 145/PMK/04/2007 tentang Ketentuan Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan Bernomor 146 /PMK/04/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK04/2008 Tentang Pemungutan Bea Keluar.
Menurut Sahat, kedua aturan ini membuat produk sawit masuk ke jalur merah. “Akibatnya, produk kami mesti diperiksa beberapa kali,” ujarnya.
Definisi jalur merah ini adalah mekanisme pelayanan dan pengawas pengeluaran barang dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB.
Togar Sitanggang, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, mengakui ekspor produk sawit masih terkena jalur merah di Bea Cukai. Tahapan pemeriksaan jalur merah ini mulai dari pre shipment, during shipment, dan compl loading. “Jadi, kami harus menjemput petugas Bea Cukai setiap kali pemeriksaan tadi,” katanya.
Kendala lain adalah aparat Bea Cukai dan petugas kerap berselisih pendapat mengenai produk turunan sawit yang tidak tercantum di dalam PMK 133/PMK.05/2015, yang merupakan revisi atas PMK Nomor 144/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan ini mengatur 30 objek produk sawit dan turunannya yang dikenakan pungutan ekspor.
Sahat Sinaga menceritakan produk turunan sawit yang tidak tercatat dalam PMK 133/2015 sulit keluar pelabuhan. Penyebabnya, aparat Bea Cukai selalu meminta laporan surveyor bagi setiap produk sawit dan turunannya yang akan diekspor. Tetapi, pihak surveyor enggan membuat laporan kepada produk-produk yang spesifikasinya tidak tertulis dalam PMK 133.
“Akibatnya, Bea Cukai melarang barang itu keluar tanpa adanya laporan surveyor. Pada akhirnya, pelaku usaha yang menjadi korban. Barang kami sering tertunda keluar dari pelabuhan,” ujar Sahat.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Agustus-September 2015)