JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dr. Tungkot Sipayung, Ekonom dan Direktur Eksekutif PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) menjelaskan bahwa industri sawit seakan memiliki kekebalan yang super tinggi di pasar global. Meski banyak negara melakukan lock down akibat pandemi covid, perdagangan minyak sawit secara internasional tetap berjalan. Akibat pandemi covid juga, banyak negara mengalami resesi atau pertumbuhan negatif selama kuartal kedua, namun impor minyak sawit Indonesia dari negara negara tersebut secara agregat masih tetap tumbuh positif dari tahun lalu.
Sebagai informasi bulan Juli 2020, industri sawit kembali menambah pundi pundi dollar USA bagi Indonesia dari devisa ekspor sebesar US$ 1,8 milyar. Secara akumulatif, 7 bulan masa pandemk covid 19 yakni bulan Januari- Juli 2020, industri sawit sudah membukukan devisa sebesar US$11,9 milyar.
India yang pada triwulan kedua 2020 ekonominya tumbuh minus 23.9 persen, impor minyak sawit dari Indonesia masih meningkat dari USD 438 juta menjadi USD 772., juta atau tumbuh 76 persen. USA yang triwulan kedua 2020 ekonominya tumbuh minus 32,9 persen, impor sawit dari Indonesia masih naik dari US$218 juta menjadi US$277 juta atau tumbuh 27 persen.
Dua negara atau kawasan tujuan ekspor sawit Indonesia di triwulan kedua 2020 nilai impor sawit dari Indonesia meski masih dibawah tahun lalu namun trend meningkat mendekati bahkan dapat melampaui tahun lalu. Kawasan UE yang ekonominya bertumbuh minus 11.9 persen, impor minyak sawit dari Indonesia masih cukup besar. Nilai impor minyak sawit dari Indonesia oleh tiga negara utama EU yakni jerman, Belanda dan Spanyol pada triwulan kedua 2020 masih mencapai US$549 juta atau sekitar 9 persen dibawah periode yang sama tahun lalu.
Tiongkok yang telah menikmati pertumbuhan positif di triwulan kedua tahun ini, nilai impor sawit dari Indonesia meski trend meningkat namun masih 37 persen dibawah tahun lalu yakni dari US$1,076 miliar menjadi US$ 675 juta.
“Bagi ekonomi Indonesia, devisa sawit sebesar itu menambah darah segar perekonomian ditengah pandemi covid dan resesi ekonomi. Devisa sawit US$11,9 milyar tersebut menyehatkan bahkan membuat surplus neraca perdagangan Indonesia,” jelas Tungkot.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, akumulasi neraca perdagangan periode Januari-Juli 2020, mencatat neraca non migas surplus USD 12.5 milyar, sedangkan neraca migas minus US$ 3,8 milyar, sehingga neraca perdagangan secara agregat surplus US$ 8,7 milyar. Dari surplus non migas tersebut,sekitar USD 11,9 milyar atau 95 persen berasal dari devisa sawit. Artinya surplus non migas tersebut disumbang oleh devisa sawit. Seandainya tidak ada devisa sawit, Indonesia akan mengalami defisit neraca perdagangan.
Devisa sawit sebesar US$11,9 milyar yang setara dengan Rp 170 trilyun lebih dari duakali lipat dana penangan pandemi covid dari APBN yang hanya Rp 75 trilyun. Daei sisi permintaan agregat, Injeksi darah segar dari devisa sawit tersebut dalam perekonomian akan menambah permintaan aggregat sehingga akan menambah daya ungkit konsumsi maupun investasi.
Dari sisi penawaran agregat, devisa sawit tersebut dihasilkan dari kebun- kebun sawit yang berada pada 200 lebih kabupaten dengan melibatkan jutaan UMKM dan korporasi di pelosok Indonesia. Permintaan minyak sawit yang masih besar dari negara -negara importir, menggerek naik harga TBS di tingkat kebun. Ini membuat “mesin-mesin” ekonomi kebun sawit berputar makin cepat. Putaran mesin ekonomi sawit ini juga menulari mesin ekonomi pangan dipedesaan sehingga berputar lebih cepat.
Tungkot menuturkan Putaran mesin mesin ekonomi pedesaan tersebut membuat pedesaan tidak mengalami kekurangan pangan, PHK, selama masa pademi covid ini. Bahkan sebaliknya ekonomi pedesaan tetap bergairah dan tidak kenal resesi seperti ekonomi perkotaan.
“Kita berharap, putaran “ mesin- mesin” ekonomi pada sentra- sentra kebun sawit makin kencang dan menulari “ mesin- mesin” ekonomi perkotaan agar terhenti berputar akibat pandemi covid. Devisa sawit yang dihasilkan dari 200 lebih kabupaten sentra sawit tersebut yang merupakan darah segar baru, akan menjadi kekuatan penting untuk mencegah dan menarik ekonomi keluar dari resesi ekonomi,” pungkas Tungkot.