Indonesia dan Malaysia – produsen CPO terbesar dunia – mengecam tindakan Perancis yang mematok pajak impor tinggi kepada produk sawit. Negara Eropa lain seperti Rusia berencana mengikuti jejak Perancis yang akan menambah nilai pajak sawit.
Sejumlah senator senator Prancis tidak lelah untuk mempersulit ekspor minyak sawit ke negaranya. Setelah gagal memberlakukan pajak Nutella yang akan mematok pajak impor sebesar 300% pada 2011. Kali ini, empat senator beraliran ekologis mengusulkan pajak impor yang sifatnya progresif kepada produk kelapa sawit.
Wacana pajak progresif muncul dalam pembahasan RUU Keanekaragaman Hayati di badan parlemen Prancis. Usulan tersebut disampaika empat senator beraliran ekologis yaitu Aline Archimbaud, André Gattolin, Marie-Christine Blandin, Ronan Dantec dan Joël Labbé. Dalam RUU Keanekaragaman Hayati ada klausul yang mengatur pemberlakukan pajak progresif produk sawit bagi pangan dan non pangan.
Eksportir yang memasukkan produk sawit ke Prancis saat ini masih membayar pajak sebesar 103 euro per ton. Dalam klausul pajak progresif sawit dibuat mekanisme kenaikan nilai pajak secara bertahap dari tahun 2017 sampai 2020. Arif Havas Oegroseno, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim dan Sumberdaya, menjelaskan nilai pajak akan naik secara progresif setiap tahun. Pada 2017, diusulkan sebesar 300 euro per ton, lalu naik menjadi 500 euro per ton pada 2018, 700 euro per ton pada 2019 dan 900 euro per ton pada 2020.
“Jelas hal tersebut menciptakan beban dan preseden buruk bagi ekspor sawit Indonesia ke Eropa,” ungkapnya kepada SAWIT INDONESIA.
Tim redaksi Majalah SAWIT INDONESIA berupaya mengajukan wawancara via email kepada dua senator pengusul pajak impor yaitu Aline Archimbaud dan Marie-Christine Blandin. Tetapi sampai majalah ini diterbitkan belum ada klarifikasi jawaban mengenai usulan pemberlakuan pajak impor ini. Tujuan dari penerapan pajak ini menjadi sumber pendanaan Social Security Fund bagi masyarakat Prancis.
Pajak impor ini dinilai diskriminatif karena diberlakukan kepada produk sawit saja. Namun perlakuan sama tidak diberikan kepada minyak nabati yang diproduksi negara Eropa lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak kanola. Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), menjelaskan seluruh asosiasi sawit yang bernaung di bawah DMSI menilai pajak ini diskriminatif.
Dampak lebih berat lagi adalah CPO sulit bersaing dengan komoditas minyak nabati lain karena harga akan lebih mahal. “Yang jelas, pajak impor ini secara langsung akan membebani petani,” ungkap Derom.
Para petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Rencana ini dianggap merugikan petani dan bagian dari penjajahan gaya baru.
Anizar Simanjuntak, Ketua Umum APKASINDO, menjelaskan pemberlakukan pajak progresif ini tidak masuk akal dan mengada-ada karena bentuk neokolonialisme atau penjajahan gaya baru.
“Rencana kenaikan pajak ini menjadi bagian dari neokolonialisme persaingan dagang dengan tujuan produk CPO kita lebih mahal dari minyak nabati yang diproduksi negara Perancis,” kata Anizar.
Untuk itu, Anizar mendesak pemerintah segera menjalankan negosiasi dengan pemerintah Perancis supaya usulan pajak progresif ini dapat dibatalkan. Alasannya, aturan pajak baru ini berdampak sangat merugikan petani sawit di Indonesia.
“Apabila tidak ada pembatalan maka petani sawit siap turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi ke kedutaan Perancis di Indonesia,” ancam Anizar.
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Februari – 15 Maret 2016)