Kelapa sawit beralih rupa dari tanaman hias menjadi kontributor utama minyak nabati dunia. Industri ini penopang kebutuhan pangan dan energi. Keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan sawit.
“Awalnya kelapa sawit ini dijadikan tanaman hias di Sumatera. Namun, seiring waktu manfaat tanaman ini tenyata lebih besar lagi,” ujar Ir. Derom Bangun, Ketua Umum DMSI saat memberikan sambutan dalam peringatan Hari Sawit Nasional.
Ia menceritakan awal mula sejarah perkembangan masuknya kelapa sawit di Indonesia. Pertama kali sawit dibawa dan ditanam di Kebun Raya Bogor tahun 1848. Selanjutnya pada 19 Juli 1911 mulai ditanam pembibitan pertama sebanyak 50 ribu pohon di Sei Liput, Sumatera Utara. Selesai pembibitan, tepat 18 November 1911, dimulai penanaman pertama di Sungai Liput dan Ulu Raja yang berada di Asahan, Sumatera Utara.
Menurut Derom, riset Kelapa Sawit mulai dicanangkan pada tahun 1916. Sejak itu pemuliaan benih berkembang terus, dan pada tahun 2020 ini telah ditemukan. Benih dengan produktivitas tinggi dengan rerata YPH (Yield Per Hectar) di level 35-39 ton TBS/ha/tahun atau berkisar 10 ton CPO/Ha/tahun.
“Pada tahun 1974, pemerintah juga membuka kesempatan kepada petani untuk berperan melalui Program Inti Rakyat (PIR), saat ini petani atau pekebun mempunyai 42% luas kebun sawit dari total tutupan kebun kelapa sawit Indonesia seluas 16,38 juta hektar,” ujar Derom.
Kini, dijelaskan Derom, kelapa sawit telah menjadi penopang dan penyumbang devisa sangat besar bagi Indonesia. Selain itu, peran sawit yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat dan bahkan mengentaskan kemiskinan menyebabkan perkebunan rakyat berkembang dengan sangat pesat dan saat ini sudah puluhan juta anggota masyarakat menjadi pekebun sawit.
“Sesuai arahan presiden dalam berbagai kesempatan melalui peraturan pemerintah dan instruksi presiden telah dilakukan banyak perbaikan di sektor komoditi sawit. Sistem pengelolaan di semua lini diminta berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan,” kata Pria kelahiran Karo, Sumatera Utara, 16 Juni 1940.
Dalam presentasinya, Derom menjelaskan bahwa perkebunan sawit seluas 16,38 juta Ha atau hanya 8,6 % dari luas daratan Indonesia mampu menghasilkan 47,18 juta Ton CPO dan 4,68 juta Ton CPKO pada 2019. Rata-rata tingkat produktivitas sawit sebesar 3,39 ton CPO/ha/thn. Produktivitas sawit ini diharapkan terus meningkat terutama perkebunan sawit rakyat.
“Bapak Presiden Jokowi dalam pidato pada 13 Oktober 2017 di desaPanca Tunggal, Kec. Sungai Lilin MUBA – sewaktu pelaksanaan peremajaan perkebunan sawit rakyat ,meminta produktivitas kebun sawit Indonesia itu bisa mencapai 28-30 ton TBS per tahun atau sekitar 5,6 ton–6ton CPO/ha/tahun,” ujarnya.
Namun demikian, baik perusahaan dan petani menghadapi tantangan sama. Persoalan mereka berkaitan keterlanjuran kawasan hutan masuk kebun sawit atau kebun sawit yang diklaim masuk hutan, diprioritaskan secepatnya terselesaikan. Tanpa mengurangi luasan kebun sawit ( petani swadaya dan perusahaan) yang ada sekaran gini.
“Kami dapat informasi bahwa Ketua Umum (red-GulatManurung) dan Sekretaris Jenderal Apkasindo (RinoAfrino) telah menemui Ibu Menteri LHK. Karena itu kami ingin menyatakan penghargaan atas komitmen Menteri LHK mengatasi masalah petani sawit. Jika persoalan ini selesai, DMSI tidak akan sepakat dengan pengusaha dan petani yang melakukan deforestasi di masa mendatang,” ungkapnya.
Berkaitan kampanye negatif sawit, dikatakan Derom, sejak 1975 sawit yang disebutkan “tropical oils” telah diserang oleh USA dengan central issue “non healthy oil” penyebab obe-sitas dan cardiovas-cular. Tetapi, tuduhan ini tidak beralasan dan FDA merubah legislasinya bahwa saturated fat bukanlah unsur berbahaya. Berlanjut kemudian, sejak Eropa melaksanakan program penurunan emisi GRK dengan menggunakan “biofuel” ,maka rape seed terpojok oleh minyak sawit karena harganya berkisar USD 130 -180/ton dibawah rapeseed oil. Alhasil semenjak tahun 2009, Uni Eropa melancarkan serangan pada sawit dari segi lingkungan berupa deforestation, bio-diversity, dan indigenous people.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 109)