NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Aksi boikot sawit yang marak terjadi di negara maju seperti Uni Eropa dinilai tidaklah logis dan bukan menjadi solusi untuk perbaikan tata kelola sawit. Buruknya imej kelapa sawit karena kampanye negatif yang dilancarkan sejumlah NGO.
Alain Rival, Resident Director for SouthEast Asian Island Countries CIRAD, menyebutkan boikot minyak sawit tidaklah tepat, ini terjadi lantaran kampanye negatif di Uni Eropa. Masih ada ketidakpahaman masyarakat Uni Eropa terhadap budidaya kelapa sawit, bahwa perkebunan sawit juga dikelola petani bukan hanya korporasi.
“Mereka tidak tahu ada kepemilikan lahan oleh petani di industri kelapa sawit. Dan yang mereka (masyarakat uni eropa) tahu industri sawit merusak hutan. Padahal faktanya tidak seperti itu,” kata Alain kepada SAWIT INDONESIA di sela acara ICOPE di Bali, Selasa (16/3).
Efransjah, CEO WWF Indonesia, mendukung pernyataan bahwa aksi boikot kelapa sawit di sejumlah negara tidak akan selesaikan masalah. Penyebabnya, kelapa sawit boikot tetap menjadi minyak nabati yang dibutuhkan dunia. Apalagi, realitasnya sawit ini lebih tinggi produktivitasnya dan punya nilai tambah dari aspek high yield, better practices dan berdampak positif kepada ekonomi.
Darmin Nasution, Menko Perekonomian, mengatakan pemerintah tidak suka kalau terjadi boikot kelapa sawit di negara lain. Pemerintah memahami minyak sawit menjadi sektor kompetitif dan strategis untuk pengentasan kemiskinan.
“Boikot produk seperti dalam kasus Iran, Korea Utara tidak alan menjadi win-win solution. Saya percaya kepada dialog,” imbuhnya.
Ditambahkan Darmin Nasution, perkebunan sawit menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta pekerja tidak langsung serta memberikan kontribusi besar kepada ekspor non migas. (Qayuum Amri)