Palembang, SAWIT INDONESIA – Dalam pelatihan SDM Sawit gelombang 4 yang diselenggarakan BEST PLANTER INDONESIA dan diikuti peserta asal Muara Enim dan Muba, pada sesi hama penyakit tanaman peserta sangat antusias menyimak narasumber memaparkan banyak pengetahuan terkait Ganoderma, hal ini disebabkan materi sangat menjawab dengan persoalan yang selama ini dialami oleh para pekebun sawit di lapangan.
Ir. Henny Hendarjanti, MM yang menjadi narasumber memulai dengan pencerahan kepada seluruh peserta pelatihan bahwa Indonesia adalah negara produsen minyak sawit terbesar dunia dengan pertumbuhan luas perkebunan sawit yang sangat cepat, dimana tercatat sampai 2023 luas perkebunan sawit mencapai 16,8 juta ha dengan produksi minyak sawit 46,98 juta metrik ton CPO.
Dari luas tersebut 6,72 juta ha adalah perkebunan sawit rakyat dengan produktifitas yang sangat rendah yaitu 2,58 ton CPO per ha per tahun, dimana masih jauh tertinggal dibandingkan perkebunan sawit negara atau swasta yang produktifitasnya bisa mencapai 5-6 ton CPO per ha. BPDPKS dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan berbagai pelatihan yang diberikan kepada pekebun tentu ingin meningkatkan produktifitas sawit rakyat yang masih memiliki peluang meningkat 2X lipat dengan luas lahan yang sama apabila manajemen kebun sawit dapat dikerjakan sesuai standar budidaya yang benar, demikian Henny melengkapi penjelasannya.
Menurut Henny yang pernah menjabat Senior Manager of Plant Protection Development PT Astra Agro Lestari Tbk, ancaman besar perkebunan kelapa sawit saat ini adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) akibat serangan cendawan Ganoderma boninense yang merupakan penyakit yang mematikan. Saat ini Ganoderma menyerang kelapa sawit tanpa mengenal umur, di mulai dari fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) hingga Tanaman menghasilkan (TM), sehingga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas hingga kematian tanaman. Kehilangan kelapa sawit hingga 30–40% pada 12 tahun setelah tanam dan > 50% pada 25 setelah tanam di daerah yang terkena dampak infeksi Ganoderma.
Penyakit BPB masih merupakan ancaman dan mengakibatkan rasa skeptis bagi pekebun dalam melakukan pengendalian. Padahal jika kita memahami ekobiologi Ganoderma, ekosistem dan ketersediaan mikrob sebagai agens antagonis melalui konsep “disease pyramid” maka masalah tersebut dapat diatasi dengan baik. Seperti kata pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati” karena biaya dan tenaga yang diperlukan untuk mengobati jauh lebih besar dari pada kegiatan mencegah. Oleh karena itu pendekatan dalam pengendalian Ganoderma adalah dengan melakukan pencegahan.
![](https://sawitindonesia.com/wp-content/uploads/2024/05/1000029496-1024x521.jpg)
Secara detil Henny menjelaskan tindakan yang harus dilakukan pekebun sawit dalam upaya pencegahan penyakit BPB akibat serangan G. boninese adalah sbb : 1) Pemilihan varietas bibit sawit moderat toleran Ganoderma, perlu diketahui bahwa bibit sawit moderat toleran bukan berarti tahan terhadap Ganoderma, namun sebagian tanaman nantinya juga akan berdampak meskipun tidak massif. 2) Melakukan eradikasi dan sanitasi pohon kelapa sawit periode penanaman sebelumnya yang telah terinfeksi cendawan Ganoderma boninense, dilakukan pada saat replanting hal ini adalah upaya untuk mengurangi sumber inokulum. Pada lubang bekas tanaman sawit terinfeksi perlu diberikan mikroba antagonis seperti Trichoderma sp./ Gliocladium sp. untuk menekan inokulum Ganoderma yang ada.3) Menyiapkan bibit kelapa sawit secara dini dengan perlakuan agens hayati yaitu mikroba yang bersifat antagonis terhadap Ganoderma seperti: Trichoderma sp, Gliocladium sp, Mikoriza dan Streptomyces sp. (Actino-bacteria). Masing-masing mikroba ini memiliki karateristik dan mekanisme dalam melawan Ganoderma. Aplikasi mikroba antagonis bisa dilakukan sejak awal penanaman kecambah kelapa sawit di pre nursery misalnya dengan memberikan Trichoderma sp/Gliocladium sp. dengan dosis 30 gram/tanaman, kemudian dengan pemberian Mikoriza pada saat pemindahan bibit pre nursery ke main nursery dengan dosis 25 gram/tanaman dilanjutkan pada saat tanam dengan dosis 100-200 gram/lubang tanam. Mikoriza yang diaplikasikan ke rihizosfer akar kelapa sawit akan memasuki sel akar dan membentuk arbuscular dan vesicular mengingat mikoriza bersifat sebagai parasit obligat. Untuk menjaga kesehatan tanaman, aplikasi actino-bacteria seperti Streptomyces sp. bisa dilakukan pada pembibitan kelapa sawit umur 3, 6 dan 9 bulan dengan dosis 50 gram/tanaman, pada saat tanam dengan dosis 250 gram/lubang tanam. Mengingat karateristik Streptomyces sp. Anaerob fakultatif agar keberadaan didalam rhizosfer selalu tersedia untuk menginduksi ketahanan tanaman, maka perlakuan pemberian dilanjutkan pada tanaman menghasilkan (TM) umur 6 tahun dengan dosis 300 gram/tanaman. Untuk menjaga Kesehatan tanaman, penyisipan mikroba Streptomyces sp kedalam rhhizosfer pada tanaman TM perlu diulang setiap 3 tahun yaitu selanjutnya pada umur 9, 12, 15, 18, 21, 23 tahun dengan dosis masing-masing 600 gram/tanaman4).
Dalam pemilihan Agens Pengendali Hayati (APH), perlu juga memperhatikan karateristik syarat mikroba tersebut sebagai bio-control, diantaranya seperti: 1) informasi bahan aktif teridentifikasi Agens pengendali Hayati (APH) minimal hingga species, 2) informasi dengan jelas kandungan bahan aktif APH (untuk cendawan: ≥ 106 cfu/ gram berat kering contoh, actinomycetes (actino-bacteria): ≥ 106 cfu/gram bakteri: ≥108 cfu/ gram bobot kering contoh,; 3) Konsistensi APH dalam efektifitas pengendalian OPT harus tetap tinggi; 4) APH memiliki ketahanan terhadap lingkungan yang ekstrim; 5) APH tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan tidak toksik terhadap manusia, tanaman & ternak; 6) Formulasi APH mempunyai umur simpan dan tetap stabil efektifitasnya (informasi kadaluarsa); dan 7) APH memiliki kisaran target inang yg cukup (tidak terlalu spesifik)Agar terhindar dari penyakit mematikan, pastikan para pekebun telah melakukan pencegahan, dengan melakukan penyisipan mikroba maka diharapkan terjadi proses interaksi (ko-evolusi) mikroba bermanfaat dengan tanaman inang dan mencegah terjadinya dominansi mikroba yang bersifat patogen, agar kejadian penyakit BPB dapat dihindari. Semangat kita pasti bisa, demikian Henny mengakhiri penjelasannya.