Penyelesaian tata ruang Kalimantan Tengah secepatnya perlu dituntaskan. Sehingga, tidak ada lagi keresahan pengusaha dalam berinvestasi di sektor perkebunan. Kementerian Kehutanan berjanji Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah sudah dapat disahkan tahun depan.
Hampir lima tahun lamanya, pengusaha kelapa sawit di Kalimantan Tengah dihadapkan kepada masalah ketidakpastian investasi. Pasalnya, pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Kehutanan tak kunjung mensahkan tata ruang provinsi ini. Masalah bermula dari ketidakserasian penggunaan dasar regulasi antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah provinsi setempat, di satu sisi pemerintah daerah merujuk kepada Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2003 mengenai RTRWP Kalimantan Tengah. Tetapi, Kementerian Kehutanan menggunakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan hasil kerja tim terpadu.
Bambang Soepijanto, Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, optimis pembahasan RTRWP Kalimantan Tengah bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat selesai pada tahun depan. Tak hanya Kalimantan Tengah, ada dua provinsi yang belum selesai pembahasannya yakni Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara. “Belum tahu, apakah DPR akan menerima review kami atau tidak,” kata Bambang.
Sementara itu, terdapat 15 provinsi lain yang telah diverifikasi oleh tim terpadu antara lain, Kalimantan Selatan, Lampung, Gorontalo, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Bengkulu, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Selanjutnya, Papua, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Total terdapat 18 provinsi yang telah selesai prosesnya oleh tim terpadu.
“Sebenarnya, pembahasan tata ruang ini mesti selesai tahun 2009. Kendati demikian, prosesnya berusaha dituntaskan tahun depan,” kata dia.
Dia menambahkan lima provinsi lain sedang dilengkapi prosesnya untuk dikaji tim terpadu antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat.
Bambang menyatakan secara prinsipnya usulan perubahan RTRWP tidak akan merubah kebijakan kehutanan dengan tetap mempertahankan luas kawasan hutan yang ada. Sesungguhnya, review yang sedang dan sudah berjalan dilakukan karena ada kebutuhan sektor lain terhadap kawasan hutan.
Pada 2030, dia memperkirakan luas kawasan hutan mencapai 112 juta hektare dari total kawasan hutan sekaran seluas 130,4 juta hektare. Berkurangnya luas kawasan hutan ini akibat dari pemenuhan bagi kebutuhan pembangunan dan penuntasan tumpang tindih masalah lahan.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, terdapat tumpang tindih areal kawasan hutan dengan kegiatan kebun dan tambang seluas 10 juta hektare. Rinciannya, tumpang tindih dengan kebun mencapai 3,5 juta hektare, tumpang tindih dengan tambang seluas 3,6 juta hektare dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL).
Bambang mengharapkan selesainya RTRWP ini akan membantu peningkatan investasi daerah untuk pemanfaatan kawasan hutan. Selama RTRWP tidak selesai dapat menimbulkan kekhawatiran bagi investor. Ke depan, Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera mensertifikasi areal di luar kawasan hutan, pasca selesainya RTRWP.
Sadino mempertanyakan kalaupun pemerintah ingin menyelesaikan RTRWP harus jelas dulu landasan yang dipakainya, bukan RTRWP menurut Kementerian Kehutanan karena tidak akan menyelesaikan masalahnya. Sebagai solusinya, dia meminta RTRWP yang diproses tim terpadu menggunakan dasar RTRWP tahun 2007 yang diusulkan pemerintah daerah. Usulan daerah berupa 54,9% kawasan kehutanan, sisanya 44,1% adalah kawasan non kehutanan. “Tetapi usulan ini dimentahkan tim terpadu dengan memberikan kawasan non kehutanan sebesar 18%. Kalau begini, logikanya dimana?” tanya Sadino.
Dia menambahkan jika tata ruang yang dibuat tim terpadu nantinya disetujui oleh DPR, lalu pada kemudian hari merugikan pelaku usaha. Maka, pelaku usaha dapat mengganggu aturan tersebut bahkan tim terpadu itu sendiri. “Pasalnya, tim terpadu juga mesti melihat realitas di lapangan, misalkan apabila sudah ada kegiatan di kawasan tersebut sebaiknya dicari solusi supaya tidak terjadi tambahan masalah, bukan malah diamputasi,” pungkas Sadino.
Awal Masalah
Teguh Patriawan, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perkebunan Kadin Indonesia, memaparkan masalah yang terjadi di Kalimantan Tengah semenjak periode 2000-2006, akibat dari adanya Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 778 Tahun 2000 mengenai tidak perlunya persetujuan dari Kementerian Kehutanan untuk Kawasan Pengembangan Produksi dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya (KPP/KPPL) bagi kepentingan perkebunan, pinjam pakai, dan pertambangan.
Ketika pengusaha kelapa sawit sedang mengembangkan lahan dengan merujuk kepada aturan ini. Ternyata, keluar keputusan dari MS Kaban, Menteri Kehutanan kala itu, mengenai Surat Menteri Kehutanan Nomor S. 575 Tahun 2006 yang membatalkan surat edaran Kepala Badan Planologi tadi. Surat MS Kaban yang keluar September 2006 ini mulai berlaku surut sampai 12 September 2000. Kontan, pelaku usaha menjadi kelabakan dengan ketetapan baru dari Menteri Kehutanan karena mesti mengurus izin pengelolaan kawasan hutan yang baru.
Beberapa waktu lalu, Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, menjelaskan setelah pencabutan surat Kepala Badan Planologi mengakibatkan perijinan dari pemerintah daerah menjadi batal, karena mesti patuh terhadap surat dari menteri kehutanan kala itu.
Polemik demi polemik terus bermunculan ketika pembahasan tata ruang wilayah provinsi sedang dilakukan beberapa tahun lalu. Hal ini bermulai dari kebijakan Kementerian Kehutanan yang tidak mengakui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 untuk selanjutnya memakai TGHK yang telah disempurnakan. Pertimbangannya, peraturan daerah tersebut berlandaskan kepada surat edaran kepala badan planologi kehutanan dan perkebunan.
Teguh Patriawan mengatakan pembentukan tim terpadu yang terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kehutanan dan akademisi juga tidak menyelesaikan masalah. Malahan, hasil kerja tim terpadu dinilai belum optimal sehingga tidak diterima pemerintah daerah.
Tak hanya pemerintah daerah, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kurang puas dengan hasil kerja tim terpadu yang berakibat kepada keengganan mereka menyetujui hasil kerja tim terpadu. Firman Soebagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR, beralasan komisinya tidak ingin terseret masalah di kemudian hari dengan mensahkan begitu saja hasil kerja tim terpadu. Maka, dia menyerahkan kembali kepada pemerintah apakah ingin menggunakan RTRWP baru dari hasil kerja tim terpadu atau RTRWP yang bersumber dari Perda Nomor 8 Tahun 2003.
Sadino, Pengamat Hukum, menyarankan supaya kementerian kehutanan lebih berpikir universal dalam memposisikan dirinya dalam kasus tata ruang di Kalimantan Tengah sehingga tidak salah dalam memahami hukum . Karena kehutanan itu sejatinya bagian dari tata ruang, bukan berdiri sendiri. Dalam tata ruang itu sendiri terbagi-bagi yang terdiri dari kawasan hutan, kawasan pertanian, kawasan pemukiman dan perkebunan.
Dia menilai perda nomor 8 itu sendiri merupakan hasil paduserasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang telah dikerjakan semenjak 1999. Oleh karena itu, perda ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan oleh kementerian kehutanan. Tetapi, ementerian Kehutanan menggunakan TGHK tahun 1982 yang mencantumkan kawasan kehutanan Kalimantan Tengah mencapai 99,6% padahal masyarakat provinsi Kalimantan Tengah juga memiliki hak hidup dan hak berkembang. Sementara, Kalimantan Tengah semenjak tahun 1957 pernah dicanangkan sebagai ibukota negara.
Setelah masa reformasi, lanjut Sadino, muncullah era otonomi daerah yang ditandai dengan kelahiran Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. Dengan kebijakan menteri kehutanan yang tidak mengakui peraturan daerah Nomor 8 Tahun 2003, sebenarnya ini bukan ranah kewenangannya. Karena UU nomor 22 Tahun 1999 itu terdapat asas represif sehingga pemerintah pusat tidak berwenang menyatakan peraturan daerah ini sah atau tidak.
Investasi Rugi Rp 37 triliun
Dwi Dharmawan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Cabang Kalimantan Tengah sempat mengatakan terdapat sekitar 967 ribu hektare dari total luas areal perkebunan kelapa sawit 1,2 juta hektare yang tidak bisa dimanfaatkan akibat belum adanya surat ijin pelepasan kawasan kehutanan dari Menteri Kehutanan. Hampir 90% anggota Gapki di provinsi ini sulit mengembangkan lahan karena berhadapan dengan masalah tata ruang. Akibatnya, beberapa perusahaan mengalami kerugian akibat bibit sawitnya mesti dimusnahkan karena sudah berusia tua.
Dia mengatakan program revitalisasi perkebunan rakyat juga mandeg lantaran Badan Pertanahan Nasional enggan mengeluarkan sertifikat, sehingga pihak perbankan tidak mau memberikan kredit pinjaman.
Dari perhitungan, nilai investasi sektor perkebunan sawit di hulu dan hilir yang hilang dapat mencapai Rp 37 triliun, karena ketidakpastian RTRWP. Pasalnya, Dwi mengakui beberapa perusahaan mencemaskan investasi mereka menjadi hilang begitu saja setelah lahir kebijakan RTRWP baru.
Suryo Bambang Sulisto, Ketua Umum Kadin Indonesia menyebutkan ketidakjelasan revisi RTRWP Kalimantan Tengah mengganggu dunia usaha skala mikro dan makro. Kendati di lain pihak, pemerintah daerah diminta meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.