JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pelaku usaha cangkang sawit merasa dirugikan dengan keluarnya kebijakan penurunan tarif ekspor produk ini. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 30 Tahun 2016, yang menurunkan tarif pajak ekspor cangkang sawit dari sebelumnya USS10 per ton menjadi USS3 per ton.
“Akibat penurunan bea ekspor, kami (eksportir) cangkang sawit menanggung kerugian hingga USS 4 per ton. Karena ekspor tidak bisa disetop karena sudah terikat kontrak. Yang terjadi, pengusaha yang aktif di bisnis ini mengalami kerugian dan hambatan bisnis,” kata Dikki Akhmad, Ketua Asosiai Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi ) ketika dihubungi Sawit Indonesia di Jakarta, pekan lalu.
Menurutnya, kebijakan ini sangat janggal lantaran tidak melalui kajian mendalam untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri. Menurutnya, apabila pemeritah mengkaji secara serius seharusnya mempertimbangkan keringanan dari sisi bea keluar.
Dia menambahkan keringanan bea keluar mesti segera ditetapkan di tengah anjloknya harga minyak dunia dan pasar internasional masih menggunakan patokan harga lama untuk cangkang sawit.
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Bambang S Brodjonegoro mengeluarkan kebijakan penurunan tarif cangkang sawit jenis kernel mulai 1 Maret lalu. Ketetapan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 30 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 133 Tahun 2015 tentang Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelolaa Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Kementrian Keuangan.
Dalam peraturan yang ditandatangani Bambang pada 19 Februari lalu bahwa penurunan tarif ekspor tidak berlaku selamanya. Penurunan tarif berlaku secara bertahap. Pada kurun waktu 1 Maret 2017 sampai 28 Februari 2018, tarif ekspor akan dinaikkan menjadi USS 5 per ton. Sedangkan mulai 1 Maret 2018, tarif ekspor cangkang jenis ini akan dikembalikan lagi ke USS 10 per ton.
Meskipun begitu, Dikki akan mengkaji dampak baik dan buruknya kebijakan bagi pengusaha dengan keluarnya aturan tersebut. Kajian ini juga diiringi dengan pencarian solusi alternatif dalam mengatasi tingginya tarif bea keluar.
“Tapi bukan pengusaha kalau cuma mengeluh, ,kita menyambut baik dahulu kebijakan yang sudah ada sambil mencari startegi lain,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pengusaha sawit di dalam negeri masih sedikit yang melirik pengelolaan limbah sawit. Padahal di negara lain limbah sawit dapat diolah menjadi bahan bakar pembangkit listrik pengganti batu bara, bahkan dinilai jauh lebih ramah lingkungan. Seperti negara maju Jepang dan Korea menggunakan cangkang sawit sebagai energi alternatif pembangkit listrik. (Ferrika Lukmana)