JAKARTA – Pemerintah diminta mengawasi implementasi Keputusan Menteri ESDM No. 89 K/10/MEM/2020 tentang “Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu Di Bidang Industri yang mulai diberlakukan semenjak awal Mei 2020. Pasalnya, aturan ini dinilai masih berjalan setengah hati di lapangan sehingga tidak semua industri dapat menikmati regulasi ini.
“Memasuki bulan keempat setelah terbitnya Kepmen ESDM Nomor 89/2020, APOLIN mempertanyakan kesungguhan para pihak yang menghasilkan (sektor hulu), menyalurkan (sektor hilir), dan yang mengatur harga gas industri tersebut (pemerintah),” ujar Raolo Hutabarat, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) dalam keterangan tertulis, Kamis (23 Juli 2020).
Rapolo mempertanyakan belum terealisasinya pelaksanaan harga gas yang dapat berjalan sesuai Kepmen ESDM Nomor 89/2020 untuk dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Dari delapan anggota yang tercantum di dalam lampiran Kepmen tersebut, faktanya baru satu anggota APOLIN yang menerima harga gas sesuai aturan tersebut. Sebagai infomasi, Kepmen ESDM Nomor 89/2020 merupakan turunan dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Permen No. 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu Di Bidang Industri. Peraturan Menteri ini merujuk kepada Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi lahir dari adanya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 3 untuk melengkapi paket ekonomi jilid 1 dan 2 yang telah diluncurkan sebelumnya. Salah satu amanah dari paket ekonomi jilid 3 ini adalah penurunan harga Listrik, BBM dan gas.
Dijelaskan Rapolo bahwa APOLIN sangat berkepentingan terhadap penurunan harga gas tersebut karena komponen gas ini sangat diperlukan sebagai bahan baku penolong dalam dua jalur. Jalur pertama adalah produk fatty acid, komponen gas ini diperlukan 20%-23%. Sedangkan, jalur kedua adalah produk fatty alcohol, komponen gas dibutuhkan 40%-43%.
Selain itu, jika penurunan harga gas ini dapat dinikmati dengan harga U$ 6 per MMBTU oleh semua anggata APOLIN. Biaya produksi dapat dihemat rerata Rp 0,8 triliun – Rp 1,2 triliun per tahun. Jika ada penghematan, dana tadi dapat dialokasikan oleh perusahaan untuk perluasan kapasitas produksi dan/atau investasi dalam rangka memenuhi permintaan global yang tumbuh sekitar 15%-17% per tahun serta penambahan tenaga kerja.
Dirjen Industri Agro Kemenperin RI, Abdul Rochim mengakui manfaat diskon harga gas bagi industri oleokimia seperti efisiensi biaya produksi secara langsung, daya saing meningkat khususnya industri sejenis di Malaysia dimana harga gas disana sebesar US$ 4-US$8 per MMBTU). Dengan begitu akan ada peluang reinvestasi, efisiensi biaya harga gas dimana dapat dialihkan untuk perluasan investasi dan pabrik karena sumber daya sawit indonesia sangat besar.
Sejauh ini, dikatakan Abdul Rochmin, sejumlah upaya telah dilakukan Kemenperin antara lain menerbitkan rekomendasi perusahaan oleokimia yang ikut program harga gas. Selai itu bekerja sama dengan APOLIN untuk melakukan sosialisasi dan fasilitasi merekapitulasi data permohonan rekomendasi. Lalu bersama tim pelayanan public membentuk sistem permohonan rekomendasi harga gas online dalam platform siinas (siinas.kemenperin.go.id), berikutnya, bersama Ditjen IKFT sebagai focal point kemenperin untuk memfasilitasi pembahasan kelayakan pemberian fasilitas diskon harga gas per perusahaan.
Eny Sri Hartati, Peneliti INDEF, mengakui implementasi harga gas murah terhadang sejumlah faktor seperti panjangnya rantai pasok, kepentingan rente, dan ketidakmauan mengimplementasikan regulasi. Padahal, harga gas ini sangatlah penting mendorong daya saing industri seperti oleokimia yang bermain di pasar global.