JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Program beasiswa kembali menuai kritikan dari petani sawit dari 22 provinsi di Indonesia. Pada 2022, kuota dipersiapkan sebanyak 1.000 peserta beasiswa sawit yang meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 660 peserta.
Setelah adanya pengumuman beasiswa sawit pada 23 September lalu, WA Group Petani sawit dari 22 Provinsi dibanjiri protes petani sawit dari berbagai organisasi. Namun sehari setelah pengumuman pertanyaan-pertanyaan yang berseliuran bergeser kepada kesiapan kampus mitra BPDPKS, terkhusus proses pendaftaran ulang, pemondokan (asrama atau rumah kos), tiket pesawat, kepastian uang saku dan penjemputan di bandara udara tujuan.
Sehari berselang, DPW APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) yang tersebar di 22 Provinsi langsung melayangkan surat kepada DPP APKASINDO perihal Penerimaan Mahasiswa Program SDM Sawit BPDPKS-Ditjenbun dan malamnya langsung melakukan rapat terbatas Pengurus Harian DPP APKASINDO secara virtual. Terkait surat tersebut dan desakan orang tua mahasiswa maka DPP APKASINDO secara resmi melakukan konferensi pers (25/09) di Sekretariat DPP APKASINDO Jakarta.
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP,C.IMA, mengatakan bahwa konpers ini sebagai rasa empaty kami dan tanggungjawab sebagai organisasi petani sawit yang sudah berumur 22 tahun.
Ada 7 point yang disampaikan DPP APKASINDO untuk perbaikan beasiswa sawit. Pertama, pihak Panitia harus segera membuka data sebaran kabupaten/kota dari provinsi mahasiswa yang dinyatakan lulus dan quota masing-masing kampus mitra serta program studi;
Kedua, kisruhnya proses seleksi mahasiwa sampai ke pengumuman kelulusan dan uang saku bulanan, terkhusus pada tiga tahun terakhir (2020-2022), pihak Ditjendbun dan BPDPKS supaya segera mengevaluasi tatacara penerimaan mahasiswa beasiswa dan pembiayaan, untuk kemudian mengundang organisasi petani sawit untuk mendiskusikan model penerimaan mahasiswa baru di TA-2023. Tahun 2016-2019 organisasi sawit selalu dilibatkan khusus proses administrasi pendaftaran dan saat jelang pengumuman selalu dirapatkan secara bersama.
Ketiga, pendaftaran ulang (tunjuk-ajar) mahasiswa baru dan keberangkatan mahasiswa baru ke kampus tujuannya menjadi catatan kritis. Perlu diketahui bahwa beasiswa ini adalah beasiswa kekhususan (affirmative action) untuk anak-anak petani dan buruh tani yang tinggal di pedesaan dan pelosok perkebunan dengan segala keterbatasannya, sehingga perlu penanganan dan kordinasi terpadu.
Keempat, supaya pihak BPDPKS dan Ditjenbun segera menaikkan biaya bulanan mahasiwa penerima beasiswa dan pembayarannya harus rutin tiap bulan (tidak dengan system rappel atau reimburse);
Kelima, proses seleksi sampai ujian jangan menggunakan online, karena keterbatasan jaringan internet di desa-desa dan kemapuan anak-anak petani tentang sistem online.
Keenam, jumlah mahasiswa yang diterima harus proposional berdasarkan luas kebun sawit tiap-tiap provinsi dan hasil ujian bukan merupakan final penentuan kelulusan;
Ketujuh, memperbanyak kampus mitra, terkhusus kampus-kampus di daerah provinsi sawit. Serta Program studi perkuliahan harus menyesuaikan dengan kebutuhan petani sawit, bukan disesuaikan program studi kampus.

Sebagai informasi bahwa peserta beasiswa sawit akan dikuliahkan di 7 lembaga pendidikan tinggi yang sudah bekerja sama dengan BPDP-KS, yaitu Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY), Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Yogyakarta, Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI) Medan, Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB), Politeknik Kampar, Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE) Bekasi, Politeknik LPP Yogyakarta.
Gulat menjelaskan bahwa memang pasca pengumuman terjadi pergeseran issu yang dibahas di medsos petani sawit. Yaitu tentang bagaimana cara mahasiwa yang lulus untuk berangkat dengan sebaran 146 Kabupaten kota dari 22 Provinsi. Tentu ini menjadi “kepanikan” bagi anak-anak kami karena memang mereka sangat awam dan rawan menuju sampai ketika sampai di kota tujuan. Apalagi harus mendahulukan semua biaya transportasi dan rumah kos-kos an yang pengembaliannya (reimburse) bisa sampai 6 bulan kemudian.
Dari hasil diskusi diketahui ternyata kampus tidak mengurusin masalah pemesanan tiket sampai pembayaran. Nomor admin yang tertera di lembaran pengumuman hanya menjawab “silahkan urus sendiri masalah tiket, pemondokan/kos, tidak ada penjemputan dan masalah biaya-biaya itu nanti BPDKS akan mengurus pembayarannya kemudian” ujar salah seorang admin kampus kepada admin APKASINDO. Tentu ini membuat kami orang tua dan pengurus asosiasi sawit terkejut. “
Kalau memang kampus mitra BPDPKS/DITJENDBUN tidak siap dengan kekhususan (affirmative action) beasiswa ini, sebaiknya tahun depan dicoret saja dan kami akan memastikan hal ini”, kata Gulat dengan tegas.
Kami akan mendatangi kampus-kampus mitra tesebut untuk melakukan wawancara kepada anak-anak kami tentang pelayanan yang diberikan kampus dan BPDPKS, baik mahasiswa baru maupun mahasiswa tahun sebelumnya.
Hasil pengumpulan data (survey) awal tahun ini kami sudah merilis, terkhusus ke jumlah uang bulanan yang diterima oleh anak-anak kami. “Ternyata 98% responden mengatakan uang tersebut hanya cukup sampai tanggal 15-16 tiap bulannya”, sisanya anak-anak kami ngutang kiri kanan dan meminta kiriman dari orang tua. Ini sangat urgen sekali.
Diketahui dari responden bahwa uang bulanan (uang makan, uang kos dan uang saku) yang dikirim BPDPKS ke rekening mahasiswa tiap bulannya antara Rp1,4 juta-1,5 juta per bulan (tergantung jenjang strata perkuliahan). Oleh karena itu tahun ini kami meminta uang bulanan tersebut dinaikkan menjadi minimum Rp2,5 juta/bulan.
Mengamati data yang kami miliki sejak 2017, maka untuk tahun ajaran 2023 dan seterusnya kami organisasi petani sawit akan mengajukan quota mahasiswa ke BPDPKS dengan konsep full affirmative action (full kebijakan menuju kesetaraan) sebanyak 250 orang. Quota ini akan dikhususkan untuk anak-anak kami yang layak menerimanya dengan segala keterbatasan dan kebutuhan daerah tersebut. Kami akan bekerjasama dengan kampus IPB, UGM, dan Kampus Vokasi sawit lainnya di daerah. “Kampus mitra ini nantinya akan menyesuaikan dengan kebutuhan kami petani sawit, bukan sebaliknya seperti selama ini dan persyaratannya tidak pakai ribet”, ujar Gulat.
Dana sawit BPDPKS itu bukan dari APBN tapi dari dana pungutan eksport (levy) yang dipungut kelola oleh BPDPKS. Dimana 3 bulan lalu kami mencatat, petani sawit menyumbang (terbebani) Rp600/kg TBS saat levy $200/ton CPO. Jangan kalau untuk kepentingan subsidi (selisih harga ke ekonomisan ke harga HET) saat masih minyak goreng disbusidi dari dana sawit, ratusan milyar mudah sekali digelontorkan, demikian juga ke biodiesel triliunan dan lain-lain. Tapi tiba untuk kebutuhan SDM anak-anak kami sangat-sangat dihemat “kami petani sawit sangat menyadari bahwa hanya dengan Pendidikan, derajat SDM kami petani sawit bisa setara”, jadi jangan main-main dengan dana SDM ini.