JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung lahirnya Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Industri Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang dipimpin Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Sebagai organisasi petani sawit terbesar di Indonesia yang anggotanya tersebar di 164 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi, kebijakan pemerintah dipercaya akan memberikan resolusi dari berbagai persoalan utama petani sawit.
“Saya melihat bahwa lahirnya Keppres Nomor 9 tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, telah pertimbangan cukup tajam dan terukur. Selama ini banyak sekali regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian terkait tetapi tidak berjalan di lapangan,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO.
“Dari mulai Perditjen KLHK, Perditjenbun, Permen KLHK, Permentan, Permen ATR BPN, Kepres, Inpres, dan terakhir UUCK. Regulasi tersebut tidak berjalan bagus di lapangan karena kementerian dan lembaga sangat kental sekali ego sektoral masing-masing,” jelas Gulat.
Gulat mencontohkan lahan yang sudah puluhan tahun dikuasai serta digunakan menjadi lahan budidaya oleh Petani, lalu sudah bersertifikat BPN dengan mudahnya dimentahkan oleh KLHK melalui klaim kawasan hutan.
Contoh lainnya adalah penerbitan Inpres 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan yang dilanjutkan dengan Perpres ISPO 44/2020. Tetapi lahan yang akan diikutsertakan dalam kebijakan RAN-KSB ini masuk kawasan hutan. Lalu bagaimana petani dapat mengikuti program sertifikasi ISPO karena syarat pertama adalah legalitas lahan. Artinya kebun petani tidak boleh di kawasan hutan dan pola ruangnya harus sesuai.
Disinilah peranan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk dapat mensinergikan kebijakan yang terseb di kementerian/lembaga terkait.
Faktanya, perkebunan sawit yang telah mendapatkan sertifikat ISPO baru 0,4% dari 6,87 juta ha yang dikelola petani. Padahal, kewajiban mengikuti ISPO akan dimulai pada 2025. Sebagai catatan, baru 60% perusahaan sawit yang mengantongi sertifikat ISPO.
Dalam UU Cipta Kerja sudah ada mekanisme Ultimum Remedium. Dari 3,4 juta ha sawit yang diklaim dalam kawasan hutan ternyata 64% atau 2,18 juta ha merupakan kebun petani. Kelompok petani sawit yang sudah mengajukan resolusi melalui gerbong UUCK baru 280 ribu ha sampai SK Tahap IX atau baru 12,8%. Kenapa baru sedikit? Karena 16 persyaratan yang ditetapkan KLHK sangat rumit dan berbiaya tinggi.

“Petani sawit sudah letih dengan semua hambatan tadi. Kami juga ingin berguna dalam pemasukan negara, namun berikan kami resolusi, apalagi batas waktu melaporkan diri (ultimum remedium) dalam kawasan hutan tinggal 7 bulan lagi pada November 2023. Hal inilah yang membuat kami serba salah,” ujar Doktor Lingkungan Universitas Riau ini.
Gulat menjelaskan kalaupun petani masuk dalam gerbong Kelompok SK KLHK Penyelesaian Sawit Dalam Kawasan Hutan. Belum tentu petani sanggup membayar denda (pasal 110 A/B). Sebab, besaran dana untuk mengurus pelepasan kawasan hutan sangat besar. Kendala utamanya masih itu-itu juga, klaim kawasan hutan. Harusnya selesaikan masalah legalitas baru terbit wajib ISPO petani.
Untuk berbagai sebab-kendala tidak sinkronnya berbagai regulasi dalam hal hulu-hilirnya sawit membuat database sawit Indonesia menjadi kabur. Lihat saja data produksi CPO Indonesia, berapapun serapan domestik, ekspor minyak sawit tetap tersedia (stabil). Harusnya dengan B35 akan menyerap 13,15 juta ton CPO dari 47 juta ton produksi CPO nasional. Analisa pengamat pasar global minyak sawit pasca B35 mengatakan “akan terjadi kelangkaan minyak sawit dunia, karena Indonesia produsen utama CPO akan mengedepankan keperluan domestik B35”.
Tapi faktanya ekspor CPO tetap stabil. Lalu dari mana datangnya pasokan CPO untuk mencukupi kebutuhan program B35 tersebut? Anehkan?. Tentu ada yang tidak tercatat selama ini.
Menurut Gulat, persoalan database sawit sangat penting untuk dikerjakan oleh Satgas Sawit. maka wajar Presiden menerbitkan Keppres Tata Kelola Industri Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Atas dasar itulah, ApkAsindo menitipkan 5 permintaan kepada Satgas Tata Kelola Sawit. Pertama, mengedepankan penyelesaian kawasan hutan yang masuk ke perkebunan sawit rakyat eksisting sebelum lahirnya UUCK (2020). Ini yang utama dan pertama.
Kedua, perbaikan Tata Kelola Harga TBS petani sawit karena ada gap sangat jauh antara harga TBS dengan harga CPO Domestik maupun harga CPO Global.
Ketiga, satgas harus mendukung percepatan PSR. Caranya, satgas membingkai regulasi bahwa eksisting sawit tertanam sebelum 2020 dapat langsung mengikuti PSR. Sebab hanya dengan PSR ini kami petani sawit bisa meningkatkan pemasukan negara melalui naiknya produktivitas.
Keempat, Satgas membagi penugasan di sektor hulu-hilir. Jadi, dibuat penugasan kepada Holding PTPN bersama Perkebunan Sawit Rakyat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan minyak sawit domestik. Sedangkan, korporasi swasta fokus mengurusi ekspor.
Kelima adalah mengusulkan supaya Output dari penugasan dari Satgas Sawit ini bermuara kepada satu titik yaitu dibentuknya Badan Nasional Sawit Indonesia (BNSI) di bawah Presiden. Dengan begitu urusan sawit dari hulu sampai hilir) di bawah BNSI.
“Kalau sekarang ini banyak sekali Lintas K/L yang mengurusi sawit sehingga membuat semua makin rumit. Akibatnya, petani terkhusus negara sangat dirugikan dalam berbagai hal paling utama pemasukan negara,” ungkapnya.
Sekjend DPP APKASINDO, Dr. Rino Afrino, ST.,MM, mengapresiasi penugasan Presiden Jokowi kepada Menko Luhut Panjaitan sebagai Ketua Pengarah Satgas Tata Kelola Sawit.
“Target 100 juta ton CPO Akan semakin mudah tercapai. Karena saya melihat ada lima point penting keberhasilan Satgas ini, yaitu kepatuhan, akuntabilitas, transfaransi, keberlanjutan dan produktivitas,” lanjut Rino.
Sebagai organisasi yang mewakili 17 juta Petani Sawit dan Pekerja Sawit, Gulat dan Rino sepakat menyampaikan pesan ke Pak LBP.
“Janganlah kiranya Satgas ini nantinya justru menyusahkan petani dengan berbagai aturan yang sulit dicapai. Kami petani sawit yakin dan percaya Pak LBP tidak akan melakukan itu (mempersulit). Dan justru untuk menjaga kami petani sawit, Pak Jokowi mempercayai Pak LBP memimpin Satgas yang cukup menentukan masa depan perekonomian bangsa ini,” ujarnya.