PEKANBARU, SAWIT INDONESIA – Petani sawit semakin was was mendekati masa tenggang wajib ISPO 2020-2025. Pasalnya, akan ada kewajiban yang dibebankan kepada petani untuk mengantongi sertifikat ISPO(Indonesian Sustainable Palm Oil). Apalagi banyak yang berpikiran bahwa TBS petani sawit tidak laku di pabrik sawit tanpa memiliki ISPO.
Wacana ini muncul dalam Focus Group Discussion Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Provinsi Riau bertemakan “Meningkatkan Produktivitas Dan Profitabilitas Petani Sawit Secara Berkelanjutan Melalui Akselerasi Implementasi ISPO”, di Pekanbaru, Riau, Kamis (21 Juni 2023).
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP, C.APO, C.IMA dalam sambutannya berharap dari FGD ini, petani dapat berdiskusi secara langsung untuk memastikan bahwa ISPO bermanfaat atau tidak bagi petani sawit Indonesia.
“Minyak sawit sampai ke Eropa, Manfaatnya pun sudah mendunia, Jika buah sawit tiada harganya, Maka ISPO pun tiada gunanya,” kata Gulat sambil berpantun yang disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Gulat memaknai pantun tersebut, karena selama ini Keberlanjutan itu baik ISPO maupun RSPO hanya sibuk dengan dimensi lingkungan saja, tapi lupa dengan dua dimensi lainnya, yaitu dimensi ekonomi dan sosial. Petani sawit tidak makan dengan ISPO, tapi sejahtera karena harga sawit bagus
“Keberlanjutan (ISPO) itu ada tiga dimensi pokok dan ketiganya harus sejalan, tidak boleh saling meniadakan,” urai Gulat.
“Saya mengatakan seperti itu, karena ketika harga TBS petani sawit ambruk saat ini tidak bernilai (dimensi ekonomi) disaat harga CPO hanya terkoreksi sedikit saja, mengapa Komite ISPO tidak angkat suara. Ini jelas-jelas bentuk penyangkalan terhadap keberlanjutan seutuhnya,” tegas Gulat.
Gulat mengatakan penurunan harga CPO jauh sangat terdampak ke harga TBS Petani. “Rumus umumnya, jika harga CPO turun Rp1.000/kg, maka harga TBS akan turun sebesar Rp300/kg. Faktanya, harga TBS Petani malah terpangkas Rp1.000-Rp1.200/kg” ujarnya.
Ia pun heran komite ISPO diam saja tanpa melakukan kebijakan ataupun terobosan baru. “Kami bersepakat ISPO itu baik, tapi harus konsisten dan tidak hanya sibuk bicara aspek lingkungan.”
“Maka itu saya instruksikan kepada semua pengurus APKASINDO di 164 DPD Kabupaten Kota dari 22 DPW Provinsi APKASINDO untuk menolak ISPO jika dimensi ekonomi (harga TBS) dan dimensi sosial diabaikan. Jika ISPO itu tidak ada manfaatnya bagi petani sawit jangan harap capaian ISPO petani 100% tahun 2025 tercapai, mustahil”, tegas Gulat.
Ada lima alasan dikatakan Gulat yang membuat kondisi petani sawit semakin berat. Pertama, dikatakan Gulat menjelaskan semua bermula dari tender CPO di KPBN, karena rujukan utama harga TBS petani swadaya maupun petani bermitra adalah dari hasil tender BUMN tersebut. Tender di KPBN itu tidak kompetitif dan dipertanyakan akuntabilitasnya, maka itu kami mendukung penuh arahan Presiden Jokowi supaya Kemendag segera mendirikan bursa Minyak Sawit (CPO) Indonesia sebagai rujukan hulu-hilir sawit Indonesia bahkan dunia yang kabarnya bulan Juli 2023 segera diluncurkan.
Kedua, beratnya beban Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE), dimana semua beban ini merupakan tanggungan dari TBS. Saat ini, buah sawit petani terbebani Rp205/Kg akibat penerapan bea keluar dan pungutan ekspor. Bahkan bulan sebelumnya beban yang ditanggung mencapai Rp500/kg TBS.
Ketiga, perusahaan pembeli CPO dari pabrik sawit membeli CPO dengan harga murah ugal-ugalan, akibatnya menekan harga TBS Petani sawit sampai ke harga tidak manusiawi.
Saya instruksikan kepada semua pengurus APKASINDO di 164 DPD Kabupaten Kota dari 22 DPW Provinsi APKASINDO untuk menolak ISPO jika dimensi ekonomi (harga TBS) dan dimensi sosial diabaikan – tegas Dr. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO
Keempat, Permentan 01 tahun 2018 yang mengatur tata niaga TBS tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian hulu-hilir sawit, sangat merugikan petani sawit, untuk itu segera direvisi.
Kelima, minimnya pengawasan terhadap pabrik sawit terutama pabrik tanpa kebun sehingga harga TBS Petani swadaya khususnya tidak terkontrol dan berkadilan.
“Kelima faktor ini saling sinergis menekan harga TBS Petani dan sesungguhnya sangat sederhana mengatasinya,” ungkap Gulat.
Faktanya sejak Permentan ISPO 2011 dan kembali diperkuat melalui Perpres ISPO 2020, dari 6,87 juta hektar luas perkebunan petani sawit Indonesia, per tahun ini baru 28 ribu hektar atau 0,4% yang tersertifikasi ISPO. Sementara wajib ISPO Petani sudah berlaku tahun 2025.
Diketahui pada FGD yang berlangsung dua hari ini, akan langsung menghadirkan Komite ISPO Pusat, Dirjenbun, BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Akademisi dari IPB.
Selain itu, hadir pula industri sawit dan pejabat provinsi Riau yaitu Gubernur Riau Drs. H. Syamsuar, M.SI yang diwakili oleh Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Dr. Sri Ambar Kusumawati, Ketua DPP APKASINDO Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP, C.APO, C.IMA, , Ketua DPW APKASINDO Riau KH.Suher, Direktur Resserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Riau
Kombes Pol Teguh Widodo, Koordinator Tindak Pidana Khusus Fauzy Marasa Besy, SH., MH, Perwakilan Korem 031 Mayor Arh E. Peranginangin, Perwakilan ATE/BPN, T. Rusli Ahmad, SE.,MM Dewan Penasehat DPP APKASINDO, Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Poti H Syafaruddin Poti, SH.,MM., Anggota DPRD Provinsi Riau Abdul Kosim, SH., Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Riau, Ketua Samade Riau Dr. Karmila Sari, S.Kom, M.Si, Ketua Forum Mahasiswa Kelapa Sawit (FORMASI) Indonesia Amir Harahap, SH.,MH., Dosen Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Riau dan Ketua-Ketua KUD Mitra Binaan APKASINDO Riau, serta perwakilan petani sawit dari 11 DPD APKASINDO kabupaten/kota se-provinsi Riau.