JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Hasil Kajian Ombudsman RI berkaitan maladministrasi tata kelola dan pengawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) merupakan upaya pembenahan di sektor kehutanan serta pemanfaatannya.
Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO.,CIMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) berpendapat bahwa melihat bukan hanya persoalan ini yang menjadi maladministrasi atas beberapa ketetapan/keputusan yang pernah diterbitkan oleh Menteri LHK, terkhusus di era 2010 ke bawah.
“Hampir bisa dikatakan izin-izin yang pernah diterbitkan oleh KLHK banyak yang tidak sesuai prosedur, terkhusus masalah tapal batas (yang berbatas) atas lokasi izin yang diterbitkan dan tapal batas kawasan hutan dengan non kawasan hutan,” jelasnya.
Merujuk materi seminar Prof. DR Sudarsono, bahwa tapal batas artinya ada minimum 2 pihak yang berbatas. “Tetapi selama ini kami petani belum pernah bersepakat untuk pihak-pihak yang berbatas dengan kami, tiba-tiba saja disebut dalam kawasan hutan. Mayoritas ini terjadi di era Kementerian KLHK tahun 2010 ke bawah. Dimana menjadi sebagian sumber kisruhnya tata kelola kehutanan di republik ini,” kata Gulat.
Gulat menjelaskan bagi masyarakat yang tidak tinggal di kabupaten atau daerah sentral pertanian dan perkebunan mungkin tidak begitu ambil pusing. Apalagi bagi pejabat yang terbiasa bekerja di dalam ruangan dengan fasilitas AC. Namun petani sangat menderita akibat ketidakjelasan kawasan hutan dan non kawasan hutan.
“Baru sepuluh tahun terakhir petani bisa membaca peta dan menggunakan GPS. Kalau era 2010 kebawah, peta tata ruang dan GPS adalah barang setengah dewa yang susah diakses. Kalau sekarang serba bebas akses dan semakin nampaklah ketidaksesuaian tersebut,” tegas Gulat.
“Di era tahun 2010 ke bawah tidak ada yang peduli aktivitas petani dalam melakukan budidaya sawit. Silakan bisa survei dan wawancara petani yang terjebak dalam kawasan hutan. Pasti mereka semua mengatakan tidak ada tapal batas, tidak ada tanda-tanda (rambu) yang menerangkan status kawasan atau tidak ada petugas berwewenang yang melarang petani melakukan aktivitas budidaya sawit di lahan yang mereka usahakan,” jelas Gulat.
Memasuki era 2010 ke atas semua berubah. Dikatakan Gulat, kawasan hutan seakan-akan meluluhlantakkan semua yang sudah tertanam sawit masyarakat. Penegakan hukum seakan-akan pengalihan isu akar permasalahan sesungguhnya.
“Permasalahan ini pasti sangat “gaduh” jika dibawa ke Ombusdman. Apalagi jika petani yang membawanya dari 22 DPW Provinsi APKASINDO sebagai korban,” ujar Gulat yang juga Ketua Bravo-5 Relawan Jokowi-Amin.
Gulat mengatakan, “Kapan kita baru mau mengakui bahwa eksisting sawit adalah anugerah dari Tuhan. Sampai kapan kita harus menutup mata akan ketidaksesuain peta eksisting dengan peta “kawasan hutan?.”
Memang sudah terbit UUCK, namun kami melihat mustahil bisa bersifat operasional dalam waktu 10 tahun kedepan. Sudah setahun berjalan tetapi progres padu serasi belum nampak. Kalau tidak salah, masih di bawah 5% kemajuannya.
Benar apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa “negara harus memegang amanat konstitusi bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
“Namun kementerian terkait harus cermat dan hati-hati menterjemahkannya. Biaya sosial dan ekonominya sangat mahal jika salah menerjemahkan keinginan Pak Jokowi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945” pungkas Gulat yang baru saja meraih sertifikat international of merger and acquisition.