JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Setelah 8 bulan terbit, UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya belum dapat dijadikan solusi bagi penyelesaian kebun sawit petani yang diklaim di kawasan hutan. Dari Pekanbaru menuju Jakarta, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung dan Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO, bertemu dengan Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Bogor, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, pada Rabu kemarin.
Agendanya adalah kedua belah pihak menandatangani naskah kerjasama untuk penyusunan naskah akademis sawit sebagai tanaman hutan. Gulat Manurung menjelaskan bahwa sampak sekarang penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan. Memasuki delapan bulan berjalannya UU Cipta Kerja, penyelesaian 2,8 juta hektare kebun sawit petani di dalam kawasan hutan tersisa 28 bulan lagi.
“Dalam UU Cipta Kerja ini, penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan ini harus clear dalam 3 tahun,” ujar Gulat.
Sementara itu, Naresworo Nugroho memberikan apresiasi tinggi kepada APKASINDO sebagai organisasi petani sawit terbesar di Indonesia atas kepercayaannya kepada IPB berkaitan penyusunan naskah akademis ini.
“Kami bekerja sama utk melaksanakan kajian ilmiah terkait sawit yang dilaksanakan oleh sebuah tim dari berbagai bidang keilmuan (multi disiplin),” jelasnya.
Penyusunan naskah akademik ini melalui berbagai tahapan antara lain studi literatur, studi regulasi, survei, FGD, uji laboratorium, studi banding, dan public hearing dan terakhir penyusunan buku hasil kajian akademis.
Menurut Gulat hasil kajian akademis ini sangat fundamental dan diharapkan akan meng-counter mitos yang selama ini ditujukan kepada sawit.
Kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB University dengan DPP APKASINDO ini merupakan tindaklanjut dari MoU pada 2019 lalu yang ditandatangani oleh Ketua Umum DPP APKASINDO dengan Dr.Arif Satria, Rektor IPB di hadapan Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Jend TNI (Purn) Dr Moeldoko.
“Kajian penyusunan naskah akademik ini murni inisasi APKASINDO. Petani dari Sabang sampai Merauke gotong royong mengumpulkan dana untuk riset ini. Tentu butuh biaya apalagi untuk suatu kajian strategis ini,” ujar Gulat.
Menurutnya, petani sawit sangat memerlukan hasil kajian akademis ini. Karena regulasi sekarang ini belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat yang diklaim masuk kawasan hutan. Akibatnya, rakyat paling dirugikan dengan konflik kebun sawit di kawasan hutan ini.
”Kami sangat bersemangat mensukseskannya, sejarah akan mencatat apa yang kami lakukan (IPB-APKASINDO) hari ini bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia. Petani sawit saat ini sudah generasi kedua, jadi paradigma kami pekebun sudah setara dan terukur. Kami tidak pasrah dengan segala hambatan. Petani ingin membantu pemerintah mengakhiri polemik selama ini,”ujar lulusan Doktor Lingkungan Universitas Riau ini.
Salah satu data pendukung riset ini antara lain kelapa sawit dari aspek ekologi, ekonomi terutama aspek sosial sangat berkelanjutan dan memenuhi 17 kriteria SDGs dan sudah terbit di jurnal internasional,
“Kajian akademis ini bertujuan memperkuat UUCK dan sekaligus meringankan beban UUCK tadi,” tutur auditor ISPO ini.
Berbicara kelapa sawit, ada banyak kesalahan persepsi dan definisi sawit. Adanya tuduhan kelapa saiwt bukan pohon maupun tuduhan-tuduhan lainnya yang justru secara ilmiah sudah terbantahkan. Namun, stigma negatif tersebut masih subur di kalangan negara penghasil minyak nabati selain sawit.
“Lain ceritanya apabila sawit tumbuh setengah subur saja di negara mereka pasti lain ceritanya,” kata Gulat.
Selain hasil kajian ini, ditegaskan Gulat, butuh kemauan politis kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat Indonesia untuk memasukkan sawit sebagai tanaman hutan sesuai dengan kriteria FAO.
Ada keanehan kriteria FAO yaitu semua jenis tanaman kelapa (palmae), kecuali sawit, masuk kategori tanaman hutan.
Dari literatur kita lihat bahwa definisi tanaman hutan yakni mempunyai tinggi batang minimal 5 meter, memiliki tutupan kawasan 10%-20%, luasan kawasan minimal 0,5 meter dan lebar jalur di atas 20 meter, semua kriteria ini dimiliki oleh sawit.
“Kita harus jujur membedakan antara tanaman sawit dengan di mana tanaman sawit itu ditanam. Harusnya, jangan dicampuraduk,” jelas ujar Gulat.
Itu sebabnya, kekeliruan FAO tidak memasukan sawit sebagai tanaman hutan merupakan hegemoni tafsir dari kelompok negara-negara pesaing sawit yang berkepentingan terhadap kelangsungan industri minyak nabati. Selama ini, negara pesaing sawit tersebut melindungi petaninya. Lantas petani sawit siapa yang melindungi?
Gulat berharap semua persoalan tersebut akan terjawab melalui kajian naskah akademis kelapa sawit sebagai tanaman hutan ini. Untuk itu, petani sawit berada di garda terdepan karena 6,87 juta ha (42%) kebun sawit tersebut dikelola oleh pekebun.
“Kita tunggu saja hasil kajian ini. Setelah itu jangan lagi ada yang “merecokin” sawit dengan berbagai modus. Sudah semua dan hemat energi. Selain itu, Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sawit tumbuh subur di Indonesia dan anugerah ini dunia turut menikmatinya,” tutup Gulat.