Di usia ke-25, Anderson Tanoto makin percaya diri tampil di berbagai forum dan pertemuan internasional. Putra bungsu pasangan Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto ini punya visi masa depan dalam pengelolaan bisnis berbasis sumber daya alam. Desa Bebas Api – program PT RAPP anak usaha RGE – berasal dari pemikiran Anderson Tanoto supaya kebakaran lahan tidak terus berulang setiap tahunnya.
“Desa yang wilayahnya tidak ada api perlu diberikan insentif. Penyelesaian masalah kebakaran lebih efektif dimulai dari desa bukan di tingkat kabupaten atau provinsi,” ujar alumnus Wharton School di University of Pennsylvania.
Program desa bebas api mulai berjalan di tiga desa semenjak tahun lalu. Jumlah desa binaan tahun ini sebanyak 9 desa berada di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. “Dari sembilan desa tadi, lima desa mampu bebas api dan tidak terjadi kebakaran sama sekali. Memang ini belum sempurna tetapi memberikan harapan. Solusi pencegahan kebakaran semestinya dari desa,” kata Anderson.
Perbincangan Anderson Tanoto dengan sejumlah wartawan termasuk Pemimpin Redaksi Majalah SAWIT INDONESIA, Qayuum Amri, dilakukan selepas Anderson kembali dari Amerika Serikat. “Hari ini baru kembali setelah mengikuti kunjungan resmi Presiden Jokowi. Dalam pandangan saya, Jokowi sangat serius bukan lip service, mau turun ke lapangan dan leadership sangat kuat,” ujarnya pada 3 November kemarin.
Hampir satu jam lamanya Anderson Tanoto berdiskusi dan berbagi pengalaman dalam mengelola bisnis. Berikut ini petikan wawancara kami yang berlangsung di Restoran Mamanda, kawasan Sultan Gate, Singapura:
Bagaimana pandangan Bapak mengenai implementasi program B-15 yang telah berjalan semenjak Agustus kemarin?
Perusahaan kami Asian Agri dan Apical termasuk penghasil biodiesel tiga terbesar di Indonesia sekarang ini. Kapasitas produksi biodiesel mencapai 500 ribu ton. Harapan saya, program B-15 berpengaruh kepada supply demand CPO. Sebab biodiesel dapat menyerap pasokan CPO sebesar tiga juta sampai empat juta ton ton per tahun. Kalau suplai diturunkan mestinya harga dapat naik. Harusnya, program ini dapat memberikan efek nyata.
Tapi realitasnya sejak tahun 2010 banyak orang tanam sawit dan mereka produksi 2-3 tahun. Makanya, tahun depan diperkirakan banyak volume yang masuk ke market. Sementara itu, permintaan dari negara luar untuk kegiatan ekspor seperti Tiongkok dan India diperkirakan masih lemah.
Sejumlah LSM menuduh perusahaan kelapa sawit dan kertas melakukan pembakaran lahan. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai kasus ini?
Kami punya anak perusahaan yang bergerak di bidang pulp and paper. Bahan baku produk kami berasal dari kayu masa kami bakar kayu punya sendiri. Itu tidak masuk akal. Perusahaan kami membutuhkan kayu sehingga tidak mungkin dibakar sendiri.
Kedua, perusahaan seperti kami mengekspor ke 85 negara tujuan dan membangun reputasi hingga 40 tahun lamanya. Mana mungkin demi ekspansi lahan seribu atau dua ribu hektar membakar lahan, itu tidak mungkin.
Dengan teman-teman NGO kita juga sangat dekat dan sering kami undang mereka. Terkait, kebakaran lahan kami ajak mereka (red-NGO) bersama untuk bantu padamkan api. Tapi mereka kabur semua. Karyawan kami yang jumlahnya ribuan orang ikut memadamkan api. Mengapa teman-teman NGO hanya bisa menuduh. Tapi ketika diminta ikut pemadaman tidak ada orang.
Lahan yang terbakar apakah sumber bahan baku untuk pulp?
Produk untuk pulp itu semua kayu bisa digunakan. Tapi kalau terbakar kayunya tidak bisa dipakai lagi karena sudah menjadi karbon. Sementara, kalau perusahaan HTI tidak mungkin. Anak usaha sawit kami seperti Asian Agri tidak lagi ekspansi.
Luas lahan konsesi Asian Agri mencapai 160 ribu terdiri dari lahan petani plasma 60 ribu hektare dan lahan inti (perusahaan) seluas 100 ribu hektare. Selain itu, kami menjalin kerjasama dengan kebun petani swadaya seluas 10 ribu hektare. Kalau menuduh, ya terserah mereka mau bilang apa. Kalau Walhi tidak menuduh, mereka tidak ada kerjaan juga walapun mereka teman baik kami.
Ibu Erna Witoelar, dan Rahmat Witoelar sudah berkunjung ke lokasi kami dan mereka melihat langsung ke lapangan. Mereka katakan; kalian sudah mengerjakan suatu yang sangat bagus karena memperluas areal konservasi. Hutan jika tidak dijaga dan kurang dipedulikan kendati hutan tersebut dimiliki pemerintah. Khawatirnya berpotensi untuk terbakar juga.
Saat ini, kami membuat ring untuk melindungi hutan konservasi perusahaan memang tidak murah. Perlu banyak orang di lapangan untuk menjaga hutan. Tanpa ada kepedulian dikhawatirkan tidak akan ada hutan.
Pembeli mensyaratkan rekam jejak produk, apakah grup bapak sudah siap untuk memenuhi permintaan tersebut?
Supplier HTI semuanya dikelola oleh perusahaan. Perusahaan HTI kami ini traceability mencapai 100 persen. Komoditi sawit itu sangatlah penting menunjukkan traceability. Sebagai contoh, apabila TBS milik petani tidak dibeli di satu pabrik maka bisa dijual ke pabrik lain. Berbeda dengan kayu hanya bisa dijual untuk satu tempat. Dan supplier tidak bisa ke tempat lain apabila sudah pegang long term contract. Di HTI, pertanggungjawaban semua lokasi itu jelas.
Kalau sawit ini memang beda, banyak PKS. Perusahaan kami menerima TBS yang berasal dari lokasi perkebunan kami sendiri. Ada pula petani yang telah menjalin kerjasama selama 25 tahun lamanya.
Mengapa isu sustainable penting bagi perusahaan?
Kami ini perusahaan yang beroperasi selama 40 tahun lebih. Saya masih mau berbisnis di Indonesia dan ingin menjalankan perusahaan ini untuk 50 tahun mendatang. Jangka waktu investasi kami ini tidak bersifat jangka pendek 15-20 tahun. Reputasi yang sudah kita bangun ini juga harus dijaga melalui praktek sustainable sebab saya pribadi khawatir dengan resiko climate change. Saya masih muda bisa sengasara nanti.
Saat ini, kami sangat peduli dengan masalah kebakaran ini. Dalam pandangan saya, semua harus terlibat dalam penanganan masalah ini baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Karyawan kami di Pangkalan Kerinci memasang AC di beberapa sekolah kita untuk membantu mereka bisa belajar tanpa terganggu asap. Sekitar 8 sekolah dipasang AC dengan jumlah 80 kelas karena hampir 3 minggu lamanya murid-murid tidak bisa sekolah. Semua orang sengsara akibat asap ini.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 November-15 Desember 2015)