Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI) mendukung program Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO).
ALSI adalah organisasi yang beranggotakan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) dengan berorientasi kegiatan sertifikasi sistem manajemen, sertifikasi produk, sertifikasi personel, inspeksi dan laboratorium ini didirikan pada 4 Juli 1996.
Rismansyah Danasaputra Ketua ALSI mengatakan, asosiasi ini mempunyai peranan dan komitmen dalam mendukung penguatan ISPO yang digagas pemerintah. “ALSI dilibatkan menjadi anggota Tim Penilai ISPO dan penguatan ISPO yang dikoordinir oleh Kementerian Kordinator Perekonomian,” kata Rismansyah Seminar bertemakan ISPO dan Keberterimaan Pasar Global yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA pada 29 Maret di Jakarta.
ALSI juga membangun kemitraan bersama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata, Kemnenterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Untuk menjadi lembaga sertifikasi ISPO terbagi atas dua tahapan. Tahapan pertama yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN) melakukan pengujian guna mendapatkan akreditasi. KAN satu-satunya lembaga yang mempunyai kompetensi untuk melakukan penilaian. Kedua, mendapat pengakuan dari Komisi ISPO.
Rismansyah bercerita bahwa banyak permasalahan ISPO yang dihadapi Lembaga Sertifikasi. Pertama, masalah audit menyangkut kesiapan dokumen dan lapangan oleh perusahaan maupun petani sawit. “Kurangnya sosialisasi kepada perusahaan, akibatnya banyak yang belum mengetahui dan memahami ISPO,” terangnya.
Kemudian beberapa perizinan belum siap. “Tugas LS adalah memotret dokumen yang ada. Apakah cocok dengan aturan. Namun untuk meyelesaikan perizinan tidak mudah dan memakan waktu. Bahkan sampai dua tahun perizinan belum selesai, sehingga untuk melanjutkan ke tahap berikutnya itu sulit,” katanya.
Dia menambahkan, perusahaan sawit besar didukung tim audit internal mumpuni yang berjumlah antara 5 – 10 anggota audit internal. “Tujuannya mempermudah perizinan dengan anak usahanya. Perusahaan besar soal regulasi relatif clear,” ujar Rismasyah.
Berbeda dengan perusahaan kecil yang manajemennya belum lengkap, sehingga relatif berpotensi macet dalam mengurus ISPO. “Apalagi petani semakin sulit, karena mengurus Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) butuh waktu lama dengan biaya cukup mahal,” ujar Rismansyah.
Dia mencontohkan, ALSI pernah mengaudit petani swadaya di Jambi di bawah pembinaan pemerintah daerah. Dari hasil temuan tersebut, ada satu kelompok dengan jumlah petani sebanyak 20 orang dalam kurun waktu sebulan sudah selesai pengurusan STDB. “Kuncinya adalah komitmen mengurus perizinan,” bebernya.