Rabu setelah makan siang, Tim Sawit Indonesia berkesempatan untuk wawancara santai bersama Dr. Purwadi, Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER.
Selama ini, Dr. Purwadi dikenal dekat dan sering menyuarakan kepentingan petani sawit. Hampir satu jam wawancara dilakukan dengan gaya yang santai tapi berisi. Ia berpendapat bahwa aksi keprihatinan tersebut telah menunjukan kelas petani sawit yang dewasa dan berkelas, sudah mirip demo-demo yang dilakukan petani-petani di Eropa.
Berikut ini petikan wawancaranya:
SI : Selamat siang Pak Pur, tanggal 17 lalu petani sawit melakukan aksi keprihatinan secara nasional dan terpusat di ibukota, bagaimana pendapat bapak?
PW: Saya kira petani sawit bersama organisasi mereka yaitu Apkasindo memiliki alasan kuat dan rasional, mengingat mereka sampai saat ini menjadi pihak yang secara langsung memperoleh dampak langsung dari kisruh kebijakan pemerintah yang dimulai dari kasus migor yang berujung pada perdagangan TBS petani.
SI : Apakah berarti aksi perhatian tersebut sudah pas?
PW: Pertama, urusan pas atau tidak masing-masing yang berkepentingaan bisa menilai sudah pas dan ada yang bilang tidak pas. Namun saya menilai kegiatan aksi keprihatinan tersebut berjalan bagus, teratur, damai, bahkan setelah selesai membersihkan sendiri sampah-sampah yang ada, sudah mirip demo-demo petani Eropa. Petani sawit dengan Apkasindo telah menunjukan kelasnya, sebagai petani dan asosiasi petani yang besar dan matang. Saya lihat mereka telah mampu menarik perhatian pemerintah dan para pihak secara nasional bahkan internasional.
SI: Bagaimana dengan isu-isu yang dibawa?
PW: Barangkali kita bicara isu-isu seperti demo pada biasanya, dan saya setuju kemarin sebagai aksi keprihatinan oleh karena dua alasan: Pertama, petani dimanapun selalu menjadi pihak yang lemah dalam sistem bisnis, industri dan perdagangan, termasuk petani sawit. (2), petani sering tidak memiliki kemampuan untuk menuntut-menuntut apalagi menekan siapapun? Oleh karena itu aksi keprihatinan menjadi lebih pas, dan yang diusung bukan isu, namun hanya menunjukkan keprihatinannya, bahwa saat ini telah menjadi korban kebijakan yang tidak melindungi mereka. Lha ini kan terbalik, karena tugas pemerintah melindungi yang lemah, termasuk melindungi petani yang tidak memiliki kemampuan cukup bahkan untuk melindungi diri sendiri.
SI : Dalam aksi keprihatinan, ada tuntutan yang mereka sampaikan?
PW: Saya lihat kok, tidak ya. Petani saat ini dirugikan dan menyampaikan permintaan untuk peninjauan beberapa kebijakan termasuk larang ekspor yang sebaiknya dicabut, termsuk beberapa kebijakan yang kurang melindungi kepada mereka. Saya kok tidak melihat spanduk-spanduk, serta penyataan-peryataan resmi yang dengan kata “menuntut” atau saya kurang update.
SI : Baik, kembali terkait isu-isu dalam aksi keprihatian, apakah relevan untuk saat ini?
PW : Saya akan menyoroti untuk dua hal yang utama: Pertama, larangan ekspor migor, bahan migor dan CPO, jelas terbukti petani menjadi pihak yang secara langsung dan instan dirugikan. Coba baca tulisan-tulisan saya di media online sawit indonesia selama 2 minggu terakhir. Dalam bisnis dan sistem rantai pasok industri dan perdagangan, petani menjadi penerima efek domino paling akhir tapi menjadi korban paling awal. Penghentian ekspor, berdampak pada industri refinery, ditranmisikan ke pabrik PKS dan selajutnya ke petani. Pada kasus kebijakan larangan ekspor petani menjadi korban langsung dan tidak bisa menghindar. Maka kalau mereka prihatian dan minta perlindungan kepada penguasa atau pemerintahnya untuk meninjau kebijakan dengan mencabut larang ekspor adalah hal wajar.
Kedua, dalam struktur dan sistem rantai pasok, petani menjadi pihak yang paling lemah dan paling rawan tereksploitasi, maka solusinya membangun kemitraan strategis dan sinergis menjadi sebuah prioritas, sehingga akan terjadi pembagian nilai margin yang berkeadilan. Saat ini SK Kementan RI terkait kemitraan dan perdagangan TBS, kurang menguntungkan petani dan hanya mengakomodasi 7 % petani plasma yang tergabung dalam kemitraan. Bagaimana dengan 93 % petani swadaya, yang memiliki daya tawar rendah, lemah dan tidak berdaya. Maka wajar kalau mereka minta peninjauan terkair SK-SK Kementan RI tersebut.
SI: Bagaimana dengan adanya petani dan asosiasi petani yang berpendapat yang mendukung larangan ekspor ?
PW: Di era demokrasi ini, siapapun dan lembaga apapun dijamin undang-undang untuk menyampaikan pendapat, saya pikir wajar-wajar saja. Cuma, apakah betul, itu yang dirasakan petani-petani sawit saat ini. Menurut saya melawan arus realitas yang dirasakan petani di lapangan tidak akan produktif, bahkan saya kawatir justru terjadinya kehilangan dukungan dari anggotanya. Barangkali Apkasindo yang justru menyuarakan realitas lapangan memperoleh dukungan besar, bahkan dari masyarakat secara umum. Untuk melihat hal itu, cukup dengan melihat berita di hampir semua TV dan membaca media-media online pada tanggah 17 siang sampai hari ini.
Yang juga menarik dari kegiatan Apkasindo kemarin, barangkali itu juga merupakan kanalisasi keresahan dan mungkin berkembang menjadi kemarahan petani, yang barangkali sudah mengarah ke konflik horisontal di lokal mapun daerah. Kita bisa melihat potensi konflik antara petani dengan PKS, dengan pedagang pengepul dan bahkan dengan pemerintahan daerah. Dengan dibawanya penyaluran keresahan dan kemarahan petani ke pusat penentu kebijakan, menurut saya adalah strategi yang jitu dari Apkasindo untuk membantu mencegah potensi-potensi konflik di lapangan. Sebaiknya kita bisa melihat dari sisi lain dan jangan dilihat seperti kegiatan-kegiatan demo yang lainnya.
SI. Bagaimana ramalan Pak Purwadi, untuk penyampaian masukan dari hasil aksi keprihatinan ini?
PW: Saya bukan peramal, jadi nggak bisa meramal. Sebagai pakar saya punya prediksi bahwa akan segera ada peninjauan kebijakan dan barangkali akan ada kebijakan baru yang lebih berkeadilan dan menyejukan semua. Melihat ekspose dalam berita-bertia TV, media online, di dalam maupun di dalam negeri, saya percaya pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait sudah menangkap rasa dan suara keprihatinan serta memahami masalah di lapangan.
SI: Jadi sudah akan ada solusi dari kisruh kebijakan selama ini?
PW: Mari kita lihat perkembangan-perkembangan saat ini: (1) pemerintah telah memberikan BLT migor selama 3 bulan, saat ini sedang dan akan terus berlangung, artinya mereka yang perlu dibantu telah terbantu. Bahwa harga minyak goreng masih tinggi ya nanti akan menuju keseimbangan pasar yang baru. (2) pemerintah sedang meluncurkan migor rakyat seharga Rp. 14.000/liter. Lha ayo ditunggu dan dikawal implentasinya jangan sampai bocor, namun jangan menuntut bahwa harga di pasar langsung direspon turun dalam sehari atau seminggu. Dampak kebijakan di perdagangan migor itu butuh 4 minggu untuk mecapai skala nasional, atau setidaknya dua minggu untuk wilayah jawa. Artinya kisruh minyak goreng akan segera terselesaikan, dan saya optimis ini akan berjalan. Dan oleh karenanya secara paralel maka pemerintah sudah akan bisa meninjau larangan ekspor, dan tidak perlu harus menunggu respon pasar yang memang membutuhkan waktu tertentu.
Barangkali saat ini pemerintah sedang bekerja keras untuk mendesaian kebijakan baru yang lebih berkeadilan dan memiliki dampak yang paling kecil yang akan segera ditetapkan pada waktunya. Kita tunggu hari-hari ke depan kabar baik dari pemerintah, semoga tidak terlalu lama untuk menghindari petani sawit jatuh “pingsan” dan bahkan mengalami kebangkutan.