PALANGKARAYA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi meragukan aturan gambut yang mengacu peta berskala 1:250.000. Jika tetap dipaksakan akan menghasilkan akurasi dan fakta lapangan berbeda dan berdampak kepada kegiatan masyarakat serta dunia usaha.
Pernyataan ini diungkapkan dalam Seminar Nasional Gambut bertemakan “Harmonisasi Pemanfaatan dan Konservasi Gambut di Indonesia melalui Pengelolaan lahan Secara Bertanggung jawab”, di Palangkaraya,Rabu (6/9/2017).
Akademisi mengusulkan penggunaan peta dengan skala besar minimal 1: 50.000 dan data yang lengkap terkait luasan wilayah sebagai acuan membuat regulasi gambut.
“Pemahaman yang tidak tepat dan data kurang akurat sebaiknya tidak menjadi rujukan penyusunan regulasi. Apalagi jika regulasi yang bisa berdampak besar terhadap hayat hidup orang banyak,” kata DR Darmawan Msc dari Departemen ilmu tanah dan sumberdaya lahan, Faperta IPB.
Darmawan menjelaskan bahwa pemerintah membutuhkan peta dengan skala besar minimal 1: 50.000 dan data yang lengkap terkait luasan wilayah sebagai acuan pelaksanaan restorasi. Peta gambut berskala 1:250.000 masih terlalu kasar dan tidak bisa dijadikan sebagi dasar untuk menjustifikasi pemetaan lahan yang sesungguh.
Pemetaan detail dan analisa terkait hidrotopografi serta tutupan lahan gambut yang akan menjadi dasar pekerjaan fisik restorasi gambut, dibutuhkan agar rencana restorasi gambut akurat.
”Pemetaan yang tidak akurat sama seperti melihat seseorang dari jauh. Tidak terlihat antara kepala dan badan terdapat leher. Hal ini menimbulkan banyak diasosiasi seperti pendapat mungkin kepala lebih rendah dari leher dan lainnya. Pada peta yang baik dan akurat seharusnya semua detail, terlihat dengan jelas,” kata Darmawan.
Darmawan menambahkan, peta yang tidak detail itu juga menyebabkan data mengenai luasan gambut berbeda-beda. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan luasan gambut 20 juta hektar lebih. Sementara itu badan informasi geospasial (BIG) menyebut data ‘yang disepakati’ Kementerian Pertanian, dan KLHK hanya sekitar 14 juta hektare.
Sementara itu, Ketua Himpunan Gambut Indonesia Prof Supiandi Sabiham. Dirinya menyakini saat ini banyak penelitian-penelitian baru dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan pada lahan gambut.
Menurut Supiandi, untuk mempertajam argumentasi ilmiahnya, sebaiknya hasil-hasil penelitian tersebut perlu didiskusikan dalam suatu forum ilmiah untuk lebih memperkaya bidang ilmu dan akurasi kebenarannya.”HGI selalu berbuka dengan untuk berdiskusi terkait pemanfaatan lahan gambut di Indonesia dengan semua pihak.”
Peta gambut dengan akurasi sangat diperlukan karena kebutuhan akan lahan untuk berbagai penggunaan termasuk pertanian di Indonesia sangat tinggi.
Di sisi lain ketersediaan lahan produktif untuk pengembangan pertanian semakin terbatas, yang menyebabkan pemanfaatan sub optimal seperti lahan gambut menjadi alternatif untuk pengembangan pertanian.