Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR, perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan pengutan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Sawsta Nasional (tahun 1969-1978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada Perkebunan Besar Sawsta Nasional (PBSN) I (1977-1981), dilanjutkan dengan PBSN II (1981-1986), dan PBSN III ( 1986-1990).
Simultan dengan kebijakan penyehatan dan pengutan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus Estate and Small Holder (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negri (APBN) yakni PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui serangkaian pola tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agarobisnis minyak sawit nasional dimana sebelum tahun 1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta.
Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, pemerintah mengkombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun 1986. Pada pola PIR Trans, perusahaan swata bertindak sebagai inti dan petani transmigransi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menunbuh kembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar dimana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.
Sumber : GAPKI