JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan penghapusan pungutan ekspor sawit untuk sementara waktu. Langkah ini diambil guna meningkatkan devisa negara karena tingginya kontribusi sawit bagi pemasukan negara.
Fadhil Hasan, Anggota Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) berpendapat peranan sawit sangat strategis dalam meningkatkan pemasukan bagi negara di saat neraca transaksi berjalan dan perdagangan mengalami defisit. Ada empat alasan untuk menunda pemberlakuan pungutan ekspor.
Pertama, kebijakan tarif pungutan sebaiknya mempertimbangkan daya saing ekspor. Menurut Fadhil, kondisi sekarang ini sangatlah penting meningkatkan daya saing di pasar ekspor untuk memperkuat penetrasi di negara tujuan ekspor pasar tradisional dan non tradisional. Oleh karena itu, penghapusan sementara waktu pungutan ekspor dapat membantu daya saing.
Kedua, dikatakan Fadhil, kalaupun tidak dihapuskan maka tarif pungutan ekspor sebaiknya diturunkan. Saat ini, produk CPO dibebankan tarif pungutan sebesar US$50 per ton, sedangkan produk hilir sawit bervariasi antara US$10-US$40 per ton. “Langkah penurunan tarif ini dapat diambil pemerintah jika pungutan tidak mau dihilangkan,” jelasnya.
Di Malaysia, tarif pungutan sudah dibuat nol persen. Makanya, kata Fadhil, Indonesia untuk sementara waktu dapat menunda pemberlakuan tarif pungutan sawit.
Ketiga adalah penghapusan atau penurunan tarif pungutan akan meningkatkan ekspor sawit ke sejumlah negara terutama India. Mengingat, India selama ini menjadi pasar utama bagi produk sawit Indonesia. Fadhil menuturkan otoritas di India pernah meminta Indonesia untuk merevisi tarif pungutan ekspor. Adanya tarif pungutan memberikan dampak bagi industri pengolahan di India yang menjadi pembeli minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Menurut Fadhil, dengan penerapan bea masuk CPO yang dijalankan pemerintah India mengakibatkan ekspor sawit Indonesia melemah. Usulan penghapusan tarif pungutan diharapkan mengimbangi tingginya bea masuk sawit ke India.
Pertimbangan terakhir adalah penghapusan pungutan ekspor tidak akan berdampak signifikan terhadap kegiatan Badan Pengelola Dana Perkebunan-Kelapa Sawit. Fadhil menyebutkan selisih pembayaran biodiesel yang ditanggung BPDP-KS tidaklah besar dengan kondisi harga solar dan FAME sekarang.
Enny Sri Hartati, Pengamat INDEF, menyatakan usulan penghapusan tarif pungutan ekspor harus dikaji lebih seksama. Misalkan butuh waktu berapa lama pungutan CPO harus dihapuskan, apakah setahun atau enam bulan.
“Kalaupun ingin dihilangkan, perlu ada jeda waktu sampai berapa lama pungutan dihilangkan,”pungkasnya.