Dalam kurun waktu 1990-2016, supply demand nabati di Uni Eropa meningkat hampir dua kali lipat dari 12,6 juta ton menjadi 24,34 juta ton. Pada tahun 1999, Uni Eropa mampu memenuhi 93% konsumsi dari produksi domestik, atau gap 7 persen. Namaun pada tahun 2016, dengan konsumsi 22,7 juta ton, ketersediaan produksi domestik hanya mencapai 15,36 juta ton.
Kesenjangan produksi – konsumsi mencapai 32 persen. Growth produksi minyak nabati UE adalah 2,8 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan konsumsi jqauh lebih besar, yakni 4,8 persen. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar (widening gap) antara produksi dan konsumsi, yang dipenuhi dengan impor. Pada tahun 2016, total impor CPO mencapai 7,2 juta ton, diikuti SFO 1,3 juta ton, RSO 300 ribu ton dan SBO 250 ribu ton. Hal ini memberikan pesan yang sangat jelas, bahwa CPO memiliki kontribusi yang sangat tinggi dalam memenuhi konsumsi nabati Uni Eropa.
Kontribusi CPO mencapai 80 persen dari total impor nabati, sedangkan SFO adalah 14 persen, SBO 3 persen dan RSO 3 persen. Disamping itu, SFO, SBO dan RSO termasuk thin market. Dalam kurun waktu 2011-2016 rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa, adalah sekitar 60 persn per tahun dan sisanya oleh malaysia. Data ini memeberi pesan kuat, bahwa Indonesia meniliki peran yang sangat tinggi dlam memenuhi konsumsi nabati Uni Eropa (to feed Erope Union). Hal ini sekaligus menunjukan bahwa Resolusi Parlemen Eropa bukanlah hal yang mudah diimplementasikan, karena menyangkut demand Uni Eropa sendiri.
Sumber : GAPKI