Kebijakan biofuel di Indonesia diatur oleh sejumlah peratruran dan keputusan. Peraturan Pemerintah No. 1/2006 yang merupakan langkah awal penting bagi pengembagan biofuel di Indonesia. Peraturan ini mengatur pengadaan dan pengunaan biodiesel. Untuk mendukung peraturan tersebut, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 20/2006 membentuk Tim Pengembangan Biofuel Nasional, yang mengawasi program pelaksanaan biofuel dan telah menciptakan cetak biru untuk pengembangan biofuel. Menurut cetak biru, pengembangan biofuel bertujuan untuk (1) Mengurangi kemiskinan dan penganguran , (2) Mendorong kegiatan ekonomi melalui pengadaan bahan bakar nabati dan (3) Mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dalam negri. Hal ini di ikuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengeluarkan Undang-Undang Energi (UU No. 30/2007), untuk memperkuat peraturan yang memprioritaskan pengunaan energi terbarukan dan biofuel.
Pada tahun 2008, Perintah Indonesia menciptakan mandat pencampuran biofuel melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32. Peratuaran mandat telah direvisi beberapa kali, yang terakhir melalui Peraturan Menteri ESDM No. 12 yang diluncurkan pada bulan Maret 2015. Peraturan ini meningkatkan campuran biodiesel wajib dari 10 persen menjadi 15 persen untuk keperluan tranportasi dan industri. Namun demikian, pada kenyataan dilapangan potensi pembangkit listrik berbasis nabati di Indonesia masih terbatas.
Mandatori biodiesel di Indonesia cukup agresif. Pada tahun 2014, tingkat pencampuran ditetapkan pada 10 persen untuk tahun 2014 dan 2015. Tingkat 2015 direvisi menjadi 15 persen (B-15) sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015, namun realisasinya belum tercapai sesuai dengan mandat yang ditetapkan. Hingga tahun 2025, target pencampuran ditetapkan adalah 30 persen (B-30).
Sumber : GAPKI