JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta membuat strategi perdagangan nasional untuk memperkuat pasar ekspor dan mengantisipasi hambatan perdagangan. Langkah ini perlu diambil sebagai upaya mengamankan produk komoditas yang diperdagangkan ke berbagai negara.
“ke depan tantangan lebih berat lagi. Sebenarnya masalah fundamental perdagangan sawit lebih terkait masalah persaingan. Dan persaingan akan terus berlanjut yang perlu kita yakini bagaimana mengamankan market di pasar global,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Selasa (8 Mei 2018).
Hal ini diungkapkan dalam Seminar “Menjawab Hambatan Perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global”, di Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Mei 2018. Pembicara yang hadir antara lain Lili Yan Ing (Staf Khusus Mendag Bidang Isu-isu Strategis Perdagangan Internasional), Mahendra Siregar (Direktur CPOPC), dan Michael Bucki (EU climate Change and Environment Counselor).
Menurut Joko Supriyono, sekitar 70 persen dari total produksi sawit Indonesia ditujukan kepada pasa global. Surplus ini merupakan berkah untuk menjadi sumber devisa. Dengan keunggulan yang dimiliki sawit inilah, maka pemerintah harus melihat kepentingan nasional lebih besar.
Dikatakan Joko, kita harus melihat kepentingan nasional karena pasar ekapor lebih ke 50 negara. Makanya, semakin banyak negara tujuan ekspor akan semakin banyak masalah seperti yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat, India, Timur Tengah, dan Tiongkok.
Joko Supriyono menekankan diversifikasi ekspor sangatlah bagus tetapi hambatan perdagangan semakin bervariasi. Untuk menghadapi masalah hambatan dagang, dibutuhkan strategi nasional ekspor sawit. Karena masalah dagang di masing-masing negara berbeda yang membutuhkan perlakuan beda pula.
“Tujuan strategi ini bukan hanya memadamkan masalah dagang melainkan diantisipasi,” ujar Joko.
Mahendra Siregar, Direktur CPOPC, menyebutkan hambatan terbesar yang dihadapi sawit muncul karena komoditas ini kompetitif dan semakin kompetitif. Di sektor hulu, produktivitas sawit naik terus dan akan bersaing dengan minyak nabati lain.
Lili Yan Ing mengatakan, pemerintah tidak ingin ada diskriminasi dalam bentuk apapun kepada palm oil. “Kalau ada penghapusan maka itu juga diberlakukan kepada vegetable oil lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, Michael Bucki EU climate Change and Environment Counselor, menuturkan Eropa belum ada kebijakan resmi untuk melarang perdagangan sawit. “Kami tidak pernah mendiskreditkan sawit. Dan kami mengapresiasi kebijakan Indonesia terhadap sawit,” jelas Bucki.