BOGOR, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam berencana menyusun naskah akademik untuk menjadikan sawit sebagai tanaman hutan. Terobosan ini diambil untuk menyelesaikan persoalan kebun sawit yang dimasukkan menjadi kawasan hutan oleh Kementerian LHK.
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang bertemakan “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika”, di IPB International Convention Center pada 12 April 2018.
Berdasarkan hasil diskusi di FGD ini, ada solusi yang disepakati bersama adalah perlu segera disusun naskah akademik sebagai dasar pertimbangan usulan tanaman sawit menjadi salah satu tanaman kehutanan.
Naskah akademik dapat membantu supaya sawit ditanam pada kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sesuai pengaturan tata ruang mikro hutan tanaman, hutan tanaman sawit ini merupakan lanskap mozaik dengan jenis-jenis tanaman lainnya.
Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc, menyebutkan, “Sawit punya kontribusi terhadap pemasukan dan nilai ekonomi tinggi. Selain itu, bagi masyarakat sangat efisien dari segi hasil untuk lahan yang terbatas. Tetapi muncul kekhawatiran stigmatisasi (sawit) padahal bukan tanamannya yang menjadi masalah, tetapi di mana kita menanamnya.”
Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi, Prof. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, menjelaskan definisi tanaman hutan berdasarkan FAO menyebutkan bambu dan palm sebagai tanaman hutam. Tetapi ada catatan pengecualian untuk sawit yang tidak dikategorikan sebagai tanaman hutan. “Mengapa bambu dapat ditetapkan menjadi tanaman hutan sebenarnya lebih kepada aspek politis. Lain halnya dengan sawit,” kata Dodik.
Pembina Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam yang juga dosen di Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Yanto Santoso menyampaikan selama ini penanaman sawit di Indonesia memanfaatkan lahan HGU serta kawasan yang telah dimanfaatkan sebagai areal penggunaan lain (APL) yang kemudian terbengkalai. Hal itu tidak bisa disebut deforestasi karena setiap kebun mempunyai riwayat berbeda bergantung kebijakan wilayah dan adat istiadat setempat.
Menurut Yanto, isu-isu mengenai kerusakan hutan primer dan menurunnya keanekaragamanhayati sengaja dihembuskan kelompok LSM. “Pemerintah perlu bersikap tegas terhadap kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pihak-pihak yang sengaja menghembuskan isu sawit sebagai penyebab,” jelasnya.
Dr Ir Sudarsono Soedomo MS,Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mengatakan, “Menteri LHK seenaknya saja menetapkan kawasan hutan. Kebun yang sudah eksisting lalu dimasukkan kawasan hutan, itu sudah pelanggaran undang-undang.”
Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tetapi yang terjadi saat ini KLHK hanya menguasai hutan tanpa program yang jelas. “Tidak ada yang salah dengan deforestasi apabila digunakan untuk kemakmuran rakyat,”papar Sudarsono.
Prof Supiandi Sabiham menjelaskan bajaa, kebun sawit bukan penyeban utama deforestasi karena menggunakan lahan terbengkalai dan rusak.
“Kerusakan hutan lebih banyak mismanajemen saat pengelolaan lahan untuk pembangunan dan bisnis kayu secara besar-besaran karena sawit sudah menempati hutan yang rusak dan lahan pertanian,” kata dia.
Prod. Dodik R Nurrochmat, meminta pemangku kepentingan supaya duduk bersama untuk membahas definisi kawasan hutan. Dengan adanya aturan yang tegas dan tidak multitafsir supaya kegiatan ekonomi yang bersentuhan langsung dengan hutan tidak dituding sebagai deforestasi dan dipolitisir sebagai isu kerusakan lingkungan.
Selain itu, Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian RI, Dr Ir Willistra Danny menyampaikan kelapa sawit Indonesia terus berkembang pesat dan menjadi salah satu komoditi yang strategis dalam menunjang perekonomian nasional. Keberadaan industri perkebunan kelapa sawit yang disertai dengan berbagai produk turunannya, harus diakui masih menjadi unggulan utama produk komoditas Indonesia.
Akademisi menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman yang bersifat strategis dalam menopang kehidupan masyarakat yang berhasil dikelola dengan baik dan bijaksana. Terjadinya kerusakan hutan lebih banyak karena mismanajemen pada saat pengelolaan lahan untuk pembangunan dan bisnis kayu secara besar-besran. Oleh karena itu, sawit tidak sepenuhnya menjadi penyebab deforestasi karena sebagian besar perkebunan kelapa sawit menempati hutan yang sudah rusak.
Sementara masyarakat lebih banyak beralih ke kebun sawit karena tanaman tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomi yang menguntungkan dan dapat memberikan kehidupan yang layak.
“Maka harapannya ke depan pengelolaan lahan kebun sawit, bila masih dimungkinkan, terus dikembangkan dengan baik dan harus berbasis lanskap,” tutur Dr. Rinekso seperti dilansir dari laman IPB.
Hadir sebagai narasumber dalam FGD ini yakni, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi, Prof. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Yanto Santoso, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dr. Supiandi Sabiham, dosen dari Departemen Manajemen Hutan, Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, dosen dari Departemen Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc, peneliti dari Forestry Research and Development Agency (FORDA), Rozza Tri Kwatrina, S.Si, M.Si, dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Approved The High Conservation Value (HCV) Assessor.