Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah meningkat sekitar 300 ribu hektar tahun 1980 menjadi 11,6 juta hektar ditahun 2016 (Kementerian Pertanian, 2015). Dalam perkembangan tersebut, perkebunan kelapa sawit rakyat menunjukan pertumbuhan yang cepat bahkan tergolong revolusioner.
Program perkebunan iti rakyat (Nucleus Estate Smallholder,NES) yang dilaksankan pemerintah merupakan pintu masuk (enty point) keikutsetaan perkebunan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit nasional (Badrun, 2010; Sipayung, 2012). PIR yang dimaksud mencakup PIR berantuan, PIR lokal, PIR khusus yang dilaksanakan pemerintah tahun 1977-1986; kemudian dilanjutkan PIR transmigrasi dalam priode 1985-1995 maupun PIR revitalisasiperkebunan sejat tahun 2005. Rangkaian kebijakan dan program PIR tersebut, bukan hanya berhasil untuk perkebunan rakyat yang menjadi peserta PIR, tetapi juga merangsang dan juga meyakinkan petani lain (diluar peserta) untuk masuk pada perkebunan kelapa sawit secara mandiri (petani sawit mandiri).
Keberhasilan pelaksaan PIR tersebut, telah merubah komposisi penguasaan perkebunan kelapa sawit nasional yang revolusioner. Pada tahun 1980, pangsa sawit rakyat hanya 2 persen. Namun pada tahun 2016 pangsa sawit rakyat mencapai 41 persen. Diproyeksikan menuju tahun 2020 pangs sawit rakyat akan mencapai 50 persen melampaui pangsa sawit swasta yang diperkirakan akan menjadi 45 persen.
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan hanya dimiliki oleh korporasi besar (sawsta dan BUMN). Sebaliknya, pangsa sawit rakyat menujukan peningkatan yang revolusioner dan akan menguasai pangsa terbesar dimasa yang akan datang.
Sumber: Mitos vs Fakta, PASPI 2017