JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Melalui keterangan resminya Uni Eropa menjamin tidak ada diskriminasi kepada produk pertanian yang termasuk dalam aturan deforestasi. Adapun tujuh produk pertanian tersebut adalah kedelai, minyak sawit, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi dan beberapa produk turunan seperti kulit, cokelat, dan furnitur.
“Tidak ada diskriminasi dalam aturan ini. Karena berlaku juga bagi negara-negara Uni Eropa yang menjadi produsen produk tersebut,” ujar Vincent Piket, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dalam media briefing akhir Januari 2023.
Namun, Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menjelaskan bahwa Indonesia harus mempertimbangkan ulang untuk mengekspor sawit ke negara Uni Eropa.
“Jualan minyak sawit ke pasar Uni Eropa makin beresiko tinggi, penuh ketidakpastian dan sudah era sunset,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Ada lima alasan yang perlu dipertimbangkan Indonesia. Pertama, aturan Uni Eropa cepat berubah, inkonsisten dan makin jauh dari aturan free and fairness trade. Meski EU merupakan salah satu promotor free trade ( WTO) tapi kebijakan perdagangan minyak sawit mengarah unfair trade dan diskriminatif/crop trade.
“Uni Eropa juga inkonsisten antara kebijakan dan realitasnya. Kebijakan European Green Deal yang katanya mengarahkan konsumsi pada komoditas yang lebih sustainable, dalam konteks minyak nabati beda. Sekitar 79 persen konsumsi minyak nabati Eropa adalah minyak nabati yang secara relatif tidak sustainable dibandingkan sawit,” ujar Doktor lulusan IPB University ini.
Menurutnya minyak sawit yang bersertifikat sustainable oil ternyata juga tak terserap Uni Eropa dan lebih memilih minyak sawit yang tak bersertifikat sustainable asal murah.
Kedua, Kebijakan EGD (European Green Deal ) menuntut deforestasi free dan HAM, pada hal EU adalah driver deforestasi dunia dimasa lalu. Juga negara negara penjajah yang melanggar HAM masa lalu dan belum mau meminta maaf.
Ketiga, pasar minyak nabati EU sudah sunset, selain relatif kecil tidak bisa bertumbuh lagi malah cenderung turun kedepan. Pasar yang sedang bertumbuh pesat dan besar adalah pasar Asia khususnya kawasan CIA ( Cina, India dan Asean ).
Keempat, pasar EU hanya menyerap sekitar 9 persen minyak sawit dunia dan terus menurun dari tahun ke tahun.
Kelima, Pasar China, India, dan Tiongkok terdapat lebih dari 50 persen penduduk dunia dan 60 persen lebih ekonomi dunia ke depan. Apalagi Asean adalah lokasi 80 persen lebih produksi minyak sawit dunia yang jauh lebih dekat menjangkau kawasan Cina dan India.
“Jadi saatnya Indonesia mulai melangkah tinggalkan EU dan lebih fokus ke kawasan CIA dan Afrika,” pungkas Tungkot.