JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian semakin sulit pasca terbitnya PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Aturan baru ini dinilai tidak sejalan program kemandirian pangan dan energi yang dicanangkan pemerintah.
Kalangan peneliti, akademisi dan petani menyuarakan kecemasannya terhadap PP 57/2016 dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh Himpunan Gambut Indonesia Komisariat Daerah Riau yang bertajuk Rekonsiliasi Pemahaman dan Strategi untuk Review dan Implementasi PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut di Ruangan Senat Rektorat Universitas Riau Pekanbaru (24/1/2017).
Prof. Dr Chairil Anwar Siregar Peneliti utama Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan seharusnya aturan ekosistem gambut mampu menjawab persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya berkelanjutan. Dengan pertimbangan potensi sebagian besar areal gambut untuk kegiatan budidaya berkelanjutan.
PP No. 57 tahun 2016 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Disebutkan bahwa pengertian perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tersebut adalah sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut.
Diskusi ini dihadiri pula pembicara antara lain Ketua HGI Prof Supiandi Sabiham, Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto, Peneliti Utama Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof Chairil Anwar Siregar dan dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau, Dr Wawan.
Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto mengatakan pembatasan muka air 0,4 meter dapat menjadi ancamaan serius di lapangan. Aturan ini sangat kontroversial karena memberikan dampak berat kepada sektor pertanian maupun perkebunan.
“Pembatasan muka air tanah berakibat usaha pertanian masyarakat serta perusahaan akan mati, karena tidak kesulitan ikut aturan ini,”jelas Didik.
Wawan mencemaskan PP 57 akan mengubah tiga perempat wilayah gambut di Riau menjadi fungsi lindung. Data menunjuklan hampir 75 persen dari 3,867 juta hektar lahan gambut di Riau termasuk gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.
“Kalau mengikuti aturan ini maka hasil produksi bisa turun begitupula daya saing industri di Indonesia,” tuturnya.
Menurut Didik, aturan yang dibuat pemerintah seharusnya melindungi kepentingan masyarakat dan dunia usaha dengan begitu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Prof. Chairil Anwar Siregar menyebutkan perlu sinergi antara produksi dan konservasi lantaran kedua aspek ini sangat penting. “Kita perlu tata kelola gambut yang lestari. Jangan sebatas menonjolkan kegiatan konservasi tapi perhatikan produksi pula,”pintanya.
Pembicara yang hadir sepakat bahwa PP 57/2016 supaya bisa dikaji lagi lantara isi beleid ini tidak mungkin untuk diimplementasikan dan belum punya basis ilmiah yang kuat.