Untuk menghadapi tantangan industri sawit keberlanjutan kedepan diperlukan sinergi dan kerja sama serta meningkatkan kepatuhan bersama. Dan, melakukan hal-hal baik atau best practice untuk mengcounter kampanye negatif yang selama dialamatkan pada sektor perkebunan penghasil komoditas yang berkontribusi positif pada perekonomian nasional.
Dalam pandangan, Nursanna Marpaung, Sekretaris Eksekutif JAPBUSI, kampanye negatif tidak hanya di industri sawit saja, tetapi khusus untuk industri sawit selalu dikaitkan dengan isu global karena sawit dikonsumsi masyarakat dunia sehingga perlu mengeliminir.
“Seperti diketahui, di industri sawit masih banyak yang perlu diperbaiki dan peningkatan. Isu-isu yang sudah ditemukan oleh ILO, CNV dan lainnya menyimpulkan masih banyak yang perlu dibenahi. Antara lain isu pengupahan, K3, pekerja perempuan dan anak, minimnya perlindungan JKS,” ujarnya saat Dialog Webinar Borneo Forum dan Majalah Sawit Indonesia dengan tema “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, pada Kamis (6 Mei 2021).
Untuk itu, dari pandangan JAPBUSI perlu dilakukan investigasi terhadap isu-isu yang ditemukan sehingga dapat ditelusuri kebenarannya dan jika terbukti perlu tindakan preventif dan represif. “Serta, dari sisi perusahaan harus bisa menjamin memberikan perlindungan dan tempat kerja yang ramah terhadap pekerja perempuan dan semua pekerja,” lanjut Nursanna.
Upaya perbaikan terhadap isu-isu yang kerap digulirkan, salah satunya isu pekerja perempuan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan HUKATAN sudah menerbitkan buku panduan untuk pekerja perempuan. Dalam buku tersebut ada komitmen antara perusahaan (pengusaha) dan pekerja perempuan.
“Dialog serikat pekerja perlu dibangun dalam perusahaan, melalui serikat pekerja dapat dibentuk komite gender yang menampung keluhan pekerja perempuan dan dikelola dengan baik. Selain itu, bisa membangun komunitas perempuan untuk memperbaiki kondisi kerja dan sarana prasarana, menjaga reproduksi perempuan. Dan, terkait isu anak perusahaan bebas dari isu pekerja anak,” pinta Nursanna.
“Kami melihat upaya-upaya ini sudah dilakukan perusahaan sawit hanya saja situasi di perkebunan sawit banyak pekerjaan yang mengundang orang tua melibatkan anak dalam bekerja. Mereka berpikir dapat menambah dari sisi pendapatan. Jadi perlu penekanan dari perusahaan untuk bebas dari pekerja anak,” tambahnya.
Terkait dengan kondisi tersebut, pihaknya berharap dari perusahaan ada tindakan represif terhadap oknum yang dari di perusahaan. Dan, perlunya pendampingan bagi pekerja yang mengalami kekerasan. “Yang lebih baik yaitu Serikat Pekerja dan Asosiasi perusahaan (GAPKI) melakukan best practice untuk kampanye positif. Bersama-sama membuat hal-hal baik maka akan berdampak positif bagi pekerja. Tentunya juga akan menjadi citra baik industri sawit di mata dunia atau luar,” Nursanna melanjutkan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)