Industri sawit berupaya mewujudkan aspek kerja layak baik di kebun dan pabrik. Semua pihak dilibatkan untuk memahami penerapan kerja layak. Akan berdampak kepada imej sawit di pasar global.
Dalam presentasi berjudul “Kerja Layak Untuk Sawit Indonesia Berkelanjutan”, Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, menegaskan di tengah pandemi covid-19 bahwasannya perkebunan sawit menjadi solusi. Bukan hanya solusi pangan, energi dan ekonomi melainkan menjaga aspek soal karena tidak ada PHK kepada orang tua.
“Sehingga tidak ada pengangguran dan kemiskinan baru sebagai salah satu penyebab adanya pekerja anak. Tidak ada PHK. Kebun sawit tidak menjadi kluster penyebaran Covid-19,” papar Sumarjono.
GAPKI anggotanya 22% dan non GAPKI 36%. Lalu sisanya petani sebanyak 42%. “Kami mendorong dan menghimbau anggota sesuai aturan negara. Tanpa adanya otoritas, kami kesulitan mengakses non GAPKI,” ujar saat berbicara dalam dialog webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021) yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum.
Ia mengatakan kelapa sawit sanga penting selama covid tidak ada PHK dan tetap menjaga protokol kesehatan. Protokol dijalankan bersama antara perusahaan dan pekerja. Kedua belah pihak menyusun protokol kesehatan.
Dari latar belakang historisnya, dijelaskan Sumarjono, faktanya UU 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan telah lama diprotes buruh. Sementara itu, pengusaha takut dengan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan. Itu sebabnya, terjadi diskursus bagaimana membuat UU Ketenagakerjaan yang baik. Akhirnya muncullah UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan.
“Tetapi setelah UU Cipta Kerja terbit malahan tetap ditolak juga. Akhirnya, UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan bersifat resistensi tinggi dan rawan konflik sosial. Ada asumsi sangat ideal karena banyak hal dikembalikan kepada bipartit. Artinya bipartit dan tripartit itu berjalan bahkan sudah matang,” ujarnya.
Sumarjono menyebutkan JAPBUSI menjadi mitra bipartit GAPKI yang produktif dan dinamis. Tetapi adapula kelompok serikat buruh menggunakan pendekatan berbeda yang bersifat agresif.”Bersama JAPBUSI terjadi pendekatan dialog. Namun kelompok buruh yang agresif menggunakan dinamika UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Dijelaskannya kerja layak harus menjadi bagian dan upaya mewujudkan sawit Indonesia berkelanjutan. Sebab kerja layak ini telah masuk aspek SDG’s. “Ke depan, tugas semakin menantang dengan UU Cipta Kerja baru yagn semakin komplementer dan komplikasi,” ujarnya.
Banyak pekerjaan rumah dalam bidang ketenagakerjaan seperti perlindungan sosial, gaji, dialog social, pekerja anak dan gender, aspek K3, dan pengawasan pemerintah.”GAPKI sebagai lembaga yang berbagi praktik baik untuk menjadi lebih baik. Alhasil, kita menginginkan adanya kerja layak di industri kelapa sawit,” jelas Sumarjono.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)