JAKARTA, SAWIT INDONESIA – DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung alokasi anggaran BPDP-KS sebesar Rp 2,7 triliun bagi pengembangan di sektor hulu yang mencakup peremajaan, sarana dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia di sektor sawit.
“Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi kinerja pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet seperti Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Termasuk Menteri Pertanian melalui Dirjen Perkebunan, Dr. Kasdi Subagyono dan juga Dirut BPDP-KS, Eddy Abdurrachman, “ujar Ir. Gulat Manurung, MP., C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Ia menyatakan realisasi dana sarana dan prasarana ini sangat dinantikan petani sawit yang tersebar di 117 DPD Apkasindo Kab/kota dan 22 DPW Provinsi seluruh Indonesia.
Begitupula dukungan dana peningkatan SDM Petani yang selama tiga tahun ini mangkrak. Tetapi dapat dikucurkan lagi untuk membantu kompetensi petani dalam mengelola kebun. Di saat dunia sedang kesusahan akibat pandemi Covid-19, menurut Gulat, sangatlah tepat untuk membantu petani dari segi produktivitas lahan melalui PSR, sarana dan prasarana, peningkatan SDM serta riset dalam rangka mendukung nilai tambah industri sawit bagi negara.
“Terutama dana sarana prasana dan PSR langsung dirasakan petani sawit, di mana kepemilikan petani mencapai 41% (6,72 juta ha) dari luas perkebunan sawit di Indonesia. Dana itu bersumber dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang dikembalikan untuk memperkuat sektor perkelapasawitan Indonesia,” ujar Gulat.
Gulat menegaskan tidak sependapat dengan opini sejumlah pihak yang menyatakan pungutan ekspor dapat membebani dan membuat petani menderita.“Dengan ini saya sampaikan bahwa petani sawit justru mensyukuri manfaat dana pungutan ekspor. Kalau ada yang berseberangan pendapat dengan kami, mungkin bersumber dari orang yang bukan petani sawit sehingga tidak merasakan manfaatnya, justru pungutan di PKS yang harus kita perangi bersama” tegas auditor ISPO ini.
Dalam perhitungannya, pungutan ekspor berdampak kepada pengurangan harga TBS petani sawit. Dari perhitungan asosiasi, diskon yang diterima antara Rp 90-Rp 110/Kg TBS untuk setiap pungutan 50 USD per ton CPO .
“Tapi petani tidak keberatan sepanjang dana tersebut dipergunakan kembali untuk membangun sektor kelapa sawit. Dan petani sawit sangat merasakan manfaatnya. Walaupun Indonesia terlambat mendirikan BPDP-KS dari Malaysia yang sudah puluhan tahun lalu mendirikan lembaga serupa. Tetapi, ini sudah kemajuan besar untuk bangsa,” tuturnya.
Gulat Manurung kembali menegaskan bahwa dana pungutan sangat bermanfaat untuk petani. Industri sawit adalah lokomotif penyelamat ekonomi Indonesia. Sejarah mencatat sudah dua kali, pertama saat krisis moneter tahun 1998 dan sekarang di kala pandemi Covid-19.
“Sawit adalah juara penyumbang devisa negara sepanjang lima tahun terakhir. Jadi wajar saja banyak oknum yang melihat sawit ini seksi untuk diobok-obok, apalagi dengan melihat bahwa 41% sawit Indonesia dikelola oleh petani. Maka, semakin seksilah barang itu,” ujar Gulat.
Ia menambahkan petani sawit justru bangga bisa berguna untuk negara melalui tetesan keringat petani yang menghasilkan TBS dan brondolan sawit untuk diolah pabrik. Lalu dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor.
“Melalui dana BPDP-KS, petani sawit sudah masuk ke sawit generasi kedua. Di generasi kedua, kami bertekad menjadi petani yang smart dan berkelas. Bantu kami kami hijrah (move on) sehingga menjadi lebih baik dan lebih berguna untuk bangsa dan negara ini,” ujarnya.
Di wilayah terpencil , kelapa sawit merupakan bidang usaha yang banyak melibatkan masyarakat (petani). Diperkirakan terdapat 20 juta orang petani dan buruh tani di dalamnya. Angka ini belum dihitung dari ring 2 dan 3 yang berada dalam rantai sektor industri yang terkait sawit ini.
“Makanya, sangat wajar banyak politikus atau struktur sosial lainnya yang mengklaim nama petani sawit sebagai objek untuk menekan pemerintah, tapi mari bicara fakta bukan hoaks,” pintanya.
Dalam tiga tahun terakhir, dikatakan Gulat, terdapat 1.200 alumni Program D1 Sawit yang sudah tamat. Taruna Sawit Indonesia ini mendapatkan pendidikan di 5 perguruan tinggi terbaik bidang sawit. Pada 2020 ini, jumlah perguruan tingginya bertambah menjadi 6 kampus.
“Mereka (Taruna) ini anak-anak petani dan buruh tani yang dibiayai full beasiswa BPDP-KS. Mereka tidak punya kesempatan dan peluang jika bersaing di kampus-kampus umum karena berbagai faktor. Belum lagi yang masih sedang proses kuliah sekitar 1000-an anak,” jelas Gulat.
Semenjak 2018, beasiswa diperluas untuk Pendidikan D3 dan D4 Kelapa Sawit mulai keahlian agronomis sampai ke pengolahan. “Data kami 89% Alumni Beasiswa BPDPKS ini bekerja di perkebunan sawit dan sebagian diberdayakan untuk program PSR dan kedepannya akan menjadi suluh dana sarpras. Mereka inilah generasi milenial petani sawit yang menjadi aset bagi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.”
“Bayangkan apabila petani sawit berpendidikan D-1. Lalu, koperasi dan kelompok tani dipimpin oleh Ketua yang berpendidikan D3 sawit dan yang bidang ilmu D4 processing akan menjadi manajer holding Apkasindo untuk home industri FAME ke Pertamina (bahan campuran solar murni dari minyak sawit). Ini luar biasa potensi dan peluang industri ini, komplit,” ujarnya.
Coba bayangkan jika Indonesia tanpa sawit disaat seperti pandemik Covid-19 ini, coba renungkan sawit tanpa BPDP-KS, tidak kebayang jadinya bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia yang faktanya sawit adalah juaranya devisa negara. “Mari kita jaga sawit Indonesia untuk anak cucu kita kelak, sebab sawit adalah kita Bangsa Indonesi, “pungkas Gulat menutup pembicaraan.