Tuduhan bahwa perkebunan sawit menjadi pemicu “biang kerok” kebakaran lahan dan hutan pada September dan Oktober tahun ini, sangat disesalkan kalangan planters sawit (profesional pengelola perkebunan sawit). Pasalnya, sebagai profesional merka telah tata dan konsiten mengelola kebun-kebun mengikuti aturan pemerintah dan prinsip sawit berkelanjutan seperti ISPO.
“Banyak Planters Sawit menghubungi saya. Mereka galau, stres hingga takut adanya kebakaran, karena kalau terjadi kebakarn di kebun dan bahkan dilahan sekitar kebunnya dianggap lalai dan atau abai dan menjadi tuduhan hukum, walaupun mereka tidak melakukan bakar-membakar apapun bahkan sering manjadi korban karena api dari luar kebun? Selama ini, para planters sudah berupaya menjaga kebunnya dari kebakaran lahan,” kata Dr. Purwadi, Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER.
Purwadi bercerita dampak dari tuduhan ini dirasakan profesional yang bekerja di kebun. Sebagai contoh, ketika akhir pekan banyak pekerja kebun yang sangat percaya diri dengan profesinya. Sebab, perekonomian lokal bergerak karena kehadiran perkebunan sawit. Para planters biasanya belanja kebutuhan sehari-hari, traveling atau berwisata pada Sabtu atau Minggu. Mereka keluar dari kebun untuk menuju ke kota terdekat. Bukan rahasia umum lagi, bila ke daerah-daerah di Sumatera, kalimanta, Sulawesi, para Planters ini merupakan komunitas profesional yang membanggakan karena kesejahteraannya, profesionalismenya dan dihargai sebagai orang-orang hebat yang berkarier disekitar mereka
Sekarang mereka galau, karena kalau mereka muncul di hotel-hotel dan mall-mall, di restoran mereka sering dilihat dilirik dan kadang-kadang di cibir sebagai “biang kerok” kebakaran, memberikan “asap yang menyesakan”. Hari ini, kata Purwadi, Planters cenderung tidak keluar kebun untuk ke kota, sekedar makan, istirahat dan belenja ke kota. Saat ini kalau masyarakat di kota-kota di daerah kalau melihat orang mengendarai mobil-mobil SUV (mitsubishi Pajero, double deck, Ford Forester, Fortuner mereka langsung melihat dengan “kurang nyaman” itu adalah orang kebun yang suka kirim asap. Planters sawit ini memiliki keluarga besar di daerah asal masing-masing baik di jawa maupun lainnya, dan pada kdang keluarga besar mereka juga “malu” karena keluarganya bekerja dan bagian dari tertuduh biang kerok “bencana asap”.
“Seiring tuduhan sawit pemicu utama karhutla. Planters menjadi tidak percaya diri. Mereka galau dan malu kalau masyarakat tahu bahwa mereka bekerja di kebun sawit,” ujar Purwadi.
Dalam beberapa kasus adanya kebakaran di kebun, sungguh menjadikan mereka stres dan ketakutan karena pada dasarnya mereka tidak pernah bermain api dan melakukan bakar-bakar di kebun dan yang sering terjadi adalah kiriman api dari luar kebun? Kalau hal ini diketahui dan masuk ranah hukum, mereka selalu dianggap “lalai” dan menjadi terdakwa dengan pasal “kelalaian” dan sering tidak mempertimbangkan dari mana asal api, oleh siapa dan prosesnya bagaimana api bisa di kebun. Kalau sudah begitu, kebakaran lahan ini menjadi momok yang menakutkan bagi mereka? Sebagai profesional yang penuh dedikasi mencurahkan tenaganya untuk membangun dan mengelola kebun secara profesional dan jarang bersentuhan dengan masalah hukum, eh akhirnya harus berurusan dengan masalah hukum yang membuat stress dan menakutkan.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 96)