Penilaian siklus daur hidup atau dikenal Life Cycle Assessment (LCA) sangat efektif menjawab isu emisi gas rumah kaca di sektor kelapa sawit. Dalam hal ini, Indonesia dapat menghasilkan data emisi sawit nasional.
“Indonesia ketinggalan jauh dari negara Asia lain terkait urusan LCA ini. Padahal, LCA berperan penting bagi diplomasi perdagangan internasional seperti sawit,” ujar Dr.Nugroho Adi Sasongko, Peneliti BPPT, dalam Seminar Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) bertemakan “Membangun Data Emisi Sawit Nasional Untuk Menghadapi Pasar Global”, di Bogor, pada akhir April 2019.
Nugroho Adi menjelaskan bahwa LCA dapat dimanfaatkan untuk industri sawit dalam upaya menunjukkan tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia. Karena selama ini ada tuduhan bahwa kelapa sawit tidak berkelanjutan (sustainable). Untuk itu, perlu kajian dan metodologi mendalam untuk menjawab tuduhan ini.
Seminar yang diadakan selama dua hari ini menghadirkan para pembicara dari kalangan akademisi, pemerintah, dan peneliti. Pembicara yang akan hadir antara lain Ir. Sulistyowati, MM (Kementerian LHK), Dr. Kiman Siregar,S.TP,M.Si (Ketua Umum ILCAN), Dr.Ir.Edi Iswanto Wiloso,M.Sc (Peneliti Senior di LIPI P2Kimia), Dr.Ir.M Januar Y.Purwanto,M.Sc (Dosen Senior Program Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB), Dr.Nugroho Adi Sasongko,S.T,M.Sc (Peneliti BPPT), Dr.Gunawan Dosen Politeknik Lhokseumawe), dan Dr.Bambang (ILCAN).
Dr. Kiman Siregar menjelaskan bahwa penilaian daur hidup sudah diperkenalkan semenjak awal 1970. LCA ini mempunyai metodologi yang dapat digunakan sebagai sustainability matrics. Dengan menggunakan penilaian daur hidup, maka dapat mengevaluasi bahan mentah dan konsumsi energi. Tujuannya mendapatkan data emisi sebuah produk. Sebagai contoh industri sawit yang dihadapkan kepada tuduhan pengeluaran emisi tinggi. Disinilah pentingnya menghitung output emisi produk.
Pemerintah Indonesia, dikatakan Kiman, dapat memanfaatkan LCA untuk menjawab isu terkait kontribusi sawit terhadap gas emisi rumah kaca. Oleh karena itu, emisi sawit ini harus dihitung berdasarkan data dan kondisi riil di Indonesia secara ilmiah dan bukan berdasarkan subjektivitas.
Kiman menerangkan sebelumnya negara-negara Eropa dan Amerika mengklaim produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit punya kontribusi terhadap emisi karbon ke atmosfer sepanjang daur produksinya. Tuduhan ini sempat dilontarkan US EPA, Lembaga lingkungan pemerintah Amerika, melalui NODA. sama dengan EU RED menyatakan bahwa biodiesel dari minyak kelapa sawit hanya dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 17% dan 19% dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil.
Sementara itu, persyaratan minimum untuk memasuki wilayah US adalah 20% dan EU adalah 35%. Itu sebabnya, dikatakan Kiman, minyak sawit dari Indonesia kesulitan untuk memasuki EU dan US serta pasar global lainnya. Terakhir, Komisi Uni Eropa melalui RED II memberikan salah satu rekomendasi untuk menghapuskan minyak sawit sebagai sumber bahan baku biofuel.
Di Indonesia, akademisi dan peneliti fokus kepada metode LCA bergabung dalam Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN). Organisasi ini berdiri pada 2014. Tujuan organisasi ini berbagi informasi metode maupun aplikasi penilaian daur hidup, serta membangun capacity building anggotanya. Saat ini, Dr. Kiman Siregar yang dipercaya menjadi Ketua Umum ILCAN. “Kalau di negara lain, organisasi seperti ILCAN ini sudah banyak dijumpai,” ujarnya.
Salah satu hasil penelitian Dr. Kiman Siregar bersama sejumlah rekannya adalah produksi biodiesel dari minyak sawit dapat menekan emisi sampai 49,27 % dibandingkan dengan minyak fossil melalui pendekatan perhitungan yang sama yaitu dengan menggunakan Metode LCA. Penelitian ini berlangsung mulai 2010 sampai 2013 di PTPN VIII dan sejumlah perusahaan kelapa sawit. Data diambil dari wilayah Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.