NUSA DUA, JAKARTA SAWIT INDONESIA – Tren harga CPO tahun depan bergerak di kisaran RM 2.600-RM 3.000 per ton. Membaiknya produksi sawit dapat menciptakan sentimen positif pelaku pasar.
Faktor penentu harga minyak sawit semakin kompleks. Tidak lagi berpatokan kepada teori ekonomi sederhana seperti suplai dan permintaan. Ataupun bergantung kepada harga minyak bumi. Tengok saja di kuartal pertama tahun ini, pergerakan harga sawit menunjukkan anomali ketika pasokan turun malahan yang terjadi harga CPO ikut tertekan.
Kalangan pengamat harga minyak sawit mengambil posisi aman dalam memproyeksikan harga pada 2017. Tidak ada satupun analis berani memprediksi harga CPO tembus di atas RM 3.000 per ton. Mengingat perekonomian global masih lesu. Negara konsumen CPO seperti India dan Tiongkok tetap menjadi faktor penentu pergerakan harga. Pasokan dan permintaan minyak nabati kedua negara tadi sangat berpengaruh kepada impor minyak sawit.
Majalah SAWIT INDONESIA merangkum pandangan tiga analis harga yang sudah familiar di kalangan pelaku industri sawit. Mereka adalah Thomas Mielke (Oil World), James Fry (LMC International), dan Dorab Mistry (Godrej International yang mempresentasikan analisanya dalam pada pertengahan Oktober.
Thomas Mielke, analis dari Oil World menyebutka ada lima faktor utama yang berpengaruh kepada harga yaitu produksi, permintaan, iklim, pemerintah,dan pasar finansial/keuangan.
Dari sisi permintaan, India dan Tiongkok tetap menjadi fokus utama produsen minyak nabati. Permintaan produk minyak sawit di India akan berjumlah 9,4 juta ton pada 2017. Naik 0,6 juta ton dari tahun ini sebesar 8,8 juta ton. Kebutuhan minyak sawit menempati posisi teratas daripada minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan sunflower.
Dalam 15 tahun terakhir, volatilitas harga sangatlah tinggi. Untuk tahun depan, stok minyak nabati termasuk sawit tidak di posisi aman. Lantaran kebutuhan pangan dan energi akan terus meningkat. Harga minyak sawit cenderung terjadi reli hingga awal 2017.
Diperkirakan harga akan naik rata-rata sekira RM2.900-RM3.000 per ton di awal tahun depan dengan asumsi stok palm oil rendah. Sementara itu, harga RBD Palm Olein antara US$ 780-US$ 800 dolar.
James Fry, pengamat harga LMC International menjelaskan secara rata-rata per tahun tren harga riil turun 1,6%. Turunnya harga berkorelasi dengan peningkatan produktivitas.
Di kawasan Eropa semenjak tahun 2000 sampai 2006, dalam perhitungan rata-rata harga cenderung di bawah US$ 400 per ton. Tetapi mulai 2007 naik menjadi US$ 850 per ton ditopang permintaan biodiesel. Namun konsumsi biodiesel di Eropa yang terus turun membuat harga dalam jangka waktu panjang kembali normal. Diperkirakan harga CPO rata-rata US$ 525 per ton di kawasan Eropa.
Pendiri LMC International ini juga menyoroti dampak El Nino di negara produsen utama sawit yaitu Indonesia dan Malaysia. Tahun depan, produksi bisa naik sebesar 4 juta ton. Pengaruh terbesar dari Indonesia yang diperkirakan semester pertama bisa tumbuh 3 juta ton.
Faktor yang tidak kalah penting adalah mandatori biodiesel di Indonesia. Mandatori bergantung kepada selisih harga CPO dengan minyak bumi. Dalam setahun kemampuan BPDP Kelapa sekira 2,3 juta ton untuk membayar subsidi.
Untuk membaca harga sawit, James Fry menggunakan teori lawasnya yang mengaitkan harga CPO dan minyak bumi. Dalam pandangannya, harga minyak bumi tidak akan menyentuh angka US$ 50 per barel.
Asumsinya, andaikata harga minyak sawit lebih tinggi menjadi CIF US$ 700 per ton. Maka minyak mentah Brent tetap berada di kisaran US$ 45 per barel. Sementara itu, harga dapat bertengger CIF US$ 600 per ton sampai pertengahan kedua 2017 andaikata produksi belum stabil.
Dorab Mistry, Analis Godrej Internasional berbicara dari aspek produksi, produksi CPO Malaysia diperkirakan turun menjadi 17,6 juta ton dari tahun kemarin berjumlah 19,8 juta ton. Sementara Indonesia produksi sawitnya turun 3,5 jt sampai 4 jt ton yang berakibat produksi keseluruhan terpangkas menjadi 29 juta ton pada tahun ini. Secara kseluruhan produksi global anjlok 6 juta ton pada 2016.
Buruknya produksi membuat stok benar-benar berkurang drastis. Stok sawit di Indonesia terjun dari 5,5 juta ton menjadi 1,6 juta ton.
Harga CPO tidak bisa tinggi karena sejumlah faktor antara lain rendahnya stok sawit, nilai tukar mata uang, lemahnya permintaan, rencana Tiongkok merilis 2,5 juta ton minyak rapak ke pasar, dan pertumbuhan ekonomi global yang lemah.
India tetap faktor kunci pergerakan harga sawit. Saat ini, masyarakat di pedesaan India mengalami kesulitan ekonomi sehingga kebutuhn minyak makan ikut turun. Sementara itu, pelaku industri refineri di India mengeluhkan harga minyak sawit dan olein yang tidak jauh beda.
“Jangan sampai perusahaan perkebunan kehilangan pasarnya di India karena dapat berdampak besar. Yang akan diuntungkan minyak kedelai,” kata Dorab.
Permintaan minyak makan dunia bisa naik 3 juta ton pada 2016-2017 karena pengaruh konsumen India.
Oleh karena itu, Dorab Mistry, mencatat harga minyak sawit naik paling tinggi RM2,800 per ton pada 2017. Apabila harga CPO menyentuh angka RM 2.200 per ton. (Qayuum)