Dalam kunjungan ke Merauke, Tim Percepatan Konflik Agraria di bawah Kantor Staf Presiden RI meminta perusahaan tetap membangun kebun plasma. Pasalnya, kebun plasma sudah menjadi amanat undang-undang. Kampanye LSM yang menolak pembangunan plasma dengan tuduhan deforestasi, dinilai menghambat pembangunan daerah.
“Pembangunan kebun plasma merupakan kewajiban yang sudah diatur dalam undang-undang perkebunan,” ujar Iwan Nurdin Anggota Tim Percepatan Konflik Agraria (TPPKA) KSP-RI pada pertengahan Desember 2018.
Kunjungan kerja anggota TPPKA-KSPR RI ke ke Kabupaten Merauke, Provinsi Papua bertujuan melihat perkembangan industri sawit di wilayah tersebut. Saat bertemu masyarakat dalam kungjungan tadi ditemukan persoalan bahwa pembangunan kebun plasma tidak dapat direalisasikan akibat kampanye negatif LSM asing.
Iwan Nurdin menjelaskan pihaknya menerima laporan masyarakat tentang lambatnya proses pembangunan plasma. Perusahaan berargumen bahwa tuduhan deforestasi menjadi penyebab kebun plasma belum dibangun. Tuduhan deforestasi ini berasal dari kampanye hitam yang dilakukan LSM Mighty Earth asal Amerika Serikat terhadap unit-unit bisnis usaha Korindo Group selama ini.
Sebelumnya, Migthy Earth kerap kali melancarkan serangan kepada unit usaha Korindo. LSM asal Amerika Serikat ini membuat laporan berjudul Burning Paradise (Surga yang Terbakar) yang menuduh kegiatan pembabatan hutan dan peminggiran hak-hak masyarakat adat Papua di Merauke.
Kendati demikian, kampanye Mighty Earth ini tidak mendapatkan dukungan masyarakat dan pemerintah setempat. Sebab masyarakat dapat mengetahui agenda tersembunyi di balik kampanye ini. Selain itu, masyarakat ingin memperoleh manfaat dari pembangunan lahan plasma di daerah tersebut.
Perwakilan masyarakat adat Merauke meminta pembangunan plasma segera terealisasi. Abraham Yolmen, Ketua Koperasi Serba Usaha Merauke,menyebutkan masyarakat sudah menunggu perusahaan membuka kebun untuk pemilik hak ulayat. Tapi hingga sekarang belum juga dibuka untuk membersihkan lahan. “Awalnya kami pikir perusahaan sengaja mengulur waktu. Tapi barulah diketahui bahwa tekanan LSM asing yang menjadi alasan perusahaan belum membuka lahan,” ujarnya.
Simon Walinaulik, perwakilan masyarakat hak ulayat di Merauke, menegaskan LSM jangan mengintervensi tanah masyarakat dan melarang perusahaan buka lahan. Sebab lahan yang dibuka perusahaan ini bermitra dengan masyarakat setempat dengan memanfaatkan lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) sesuai regulasi pemerintah.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Merauke dan Boven Digoel, Sebastianus Ndiken meminta pembangunan lahan plasma bagi masyarakat adat untuk meningkatkan kesejahteraan. Yang sangat disayangkan, kampanye negatif LSM asing seperti Mighty Earth dan AidEnvironment sangat merugikan masyarakat sebagai pemilik hak ulayat, karena perusahaan sawit yang telah bermitra dengan masyarakat, tidak berani membuka lahan plasma masyarakat. Akibatnya pembangunan kebun plasma untuk masyarakat lokal belum terlaksana sampai saat ini.
“Kami ingin agar kebun plasma untuk masyarakat segera dibangun agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemilik hak ulayat. Karena kami masyarakat Papua juga ingin maju dan sejahtera serta sejajar dengan saudara saudara kami didaerah lain diluar Papua,” ucapnya.