Karena kenaikan harga BBM dipasar dunia pada tahun 2005, minyak sawit yang harganya murah mulai dijadikan bahan bakar. Minyak sawit diolah menjadi biodiesel kemudian diisikan ketangki mobil. Tahun 2006, harga BBM terus naik dan juga harga minyak sawit ikut naik. Petani yang menjual tandan buah segar (TBS) sawit juga menerima harga yang lebih tinggi. Karena, itu pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar membawa dampak baik bagi ekonomi Indonesia. Minyak sawit kembali terangkat menjadi bahan berita penting. Saya diminta wawancara oleh televisi Bloomberg Hongkong menghadapi rentetan pertanyaan Bernie Lo, penyiar muda yang nama lengkapnya adalah Bernard Lo.
Tidak hanya ditelevisi masalah minyak sawit dibahas karena banyakpihak yang mengangkat masalah itu menjadi pertentangan antara bahan pangan dan bahan bakar. Persoalan dibawa keruang konferensi yang dampaknya akan menyebar kepasar dunia. Itu harus dipandang sebagai diplomasi yang perlu ditanggapi dengan sunguh-sunguh. Kita harus juga berdiplomasi tanpa rasa emosi.
Suatu konferensi penting yang menyangkut minyak sawit digelar di Oxford , Inggris oleh Asosiasi Energi Terbarukan, REA (Renewable Energy Association) yang berkantor di London. Melalui surat elektroniik pada tanggal 13 Agustus 2007 Liz Sleeper, panitia konferensi, mengundang saya untuk berbicara di forum debat terbuka bersama Greenpeace, Biofuel Watch dan Serikat Petani Inggris (National Farmers Union) di Oxford. Acara ini didukung juga oleh Defra (Departement of Environment, Food an Rural Affairs) yaitu kementerian yang bertanggung jawab mengenai lingkungan hidup, makanan dan masalah pedesaan di Inggris Raya.
Sumber : Derom Bangun