Sebelum menerapkan kriteria emisi gas rumah kaca atau Gas House Emission (GHG), Komisi Indonesian Sustainable on Palm Oil (ISPO) akan melatih dahulu tenaga auditor yang berasal dari lembaga sertifikasi dan perusahaan perkebunan. Tujuannya, impelementasi GHG dapat efektif berjalan di lapangan dan sesuai tujuan.
Masalah gas rumah kaca telah menjadi wacana global yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia. Beberapa negara mulai menerapkan kebijakan perdagangan yang salah prasyaratnya terkait gas rumah kaca. Sebut saja aturan Renewable Energy Directive (RED) yang menerapkan ambang batas emisi gas rumah kaca terhadap produk biodiesel berbasis sawit yang masuk ke Uni Eropa. Paling terbaru, rencana pemerintah Amerika Serikat yang akan memberlakukan Renewable Fuel Standards (Standarisasi Bahan Bakar Terbarukan atau RFS) yang juga ingin mengurangi angka emisi gas rumah kaca dari bahan bakar berbasis sawit
Rosediana Suharto, Ketua Pelaksana Harian Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) mengatakan pihaknya sedang merancang model penghitungan gas emisi rumah kaca yang akan digunakan oleh perusahaan perkebunan dan lembaga auditor. Supaya perhitungan ini akurat dan kredibel, ISPO menjalankan penelitian terhadap metode ini dengan sangat teliti dan sifatnya jangka panjang. “Pemberlakukan kriteria GHG rencananya pada 2020 karena tidak dapat diberlakukan secepat mungkin,” kata Rosediana.
Pertimbangan lain, menurut Rosediana, sumber daya manusia tadi harus bisa menghitung penangkapan gas emisi rumah kaca (GRK). Nantinya, basis penghitungan GRK akan mempertimbangkan dari perubahan lahan, pemakaian diesel dan solar, dan penggunaan pupuk. Komisi ISPO sudah mulai melatih karyawan dan tenaga auditor dalam penghitungan GRK yang untuk sementara memakai metode Uni Eropa. “Tetapi, nantinya tidak bisa metode Uni Eropa tadi dipakai karena mereka menghitung sebagai pembeli. Sementara, Indonesia itu produsen sekaligus penjual. Kalau, kita pakai metode Uni Eropa tidak akan sesuai dengan kondisi disini,” papar Rosediana.
Dicontohkan oleh Rosediana, Uni Eropa menghitung GRK dengan menganalisis perubahan lahan menjadi perkebunan sawit dalam waktu 20 tahun mendatang. Sedangkan Indonesia tidak tahu, apakah masih mau tanam sawit atau tidak.
Dia mengatakan sebelum 2020 pabrik kelapa sawit di Indonesia minimal 60% telah menerapkan fasilitas penangkapan gas rumah kaca. Barulah nanti pada 2020, penggunaan fasilitas tadi akan menjadi mandatori terhadap seluruh pabrik kelapa sawit. Lewat instalasi ini ditargetkan pengurangan gas emisi rumah kaca dapat dilakukan dengan baik.
Berdasarkan data Environment Protection Agency (EPA), dari jumlah 608 unit pabrik kelapa sawit di Indonesia, baru 10% yang telah dilengkapi fasilitas alat penangkap gas metana. Pada akhir Oktober lalu, delegasi EPA mengunjungi perkebunan sawit milik PT Musim Mas di Riau untuk melihat secara langsung manajemen perkebunan sait dan fasilitas gas rumah kaca. Selain itu, delegasi juga berinteraksi dengan petani plasma setempat.
Regina McCarthy , Assitant Administrator Office of Air & Radiation USEPA, menyatakan, masih terus mendalami fakta ilmiah terkai produk kelapa sawit sebelum menetapkan keputusan dalam pelaksanaan Notice of Data Avaibility- Environment Protection Agency EPA (NODA-EPA). Dalam analisa NODA ditunjukkan bahwa minyak kelapa sawit siklus hidupnya tidak memenuhi persyaratan minimum pengurangan emisi GHG sebesar 20% yang ditetapkan dalam program Renewable Fuel Standards untuk kategori bahan bakar terbarukan. Hingga saat ini, USEPA telah menyelesaikan analisa siklus hidup untuk berpuluh-puluh tahun jenis biofuel yang berbeda. Saat ini sudah dilakukan analisa terhadap 30 jenis biofuel lainnya.
“Sudah ada puluhan ribu komentar dari publik yang butuh waktu untuk dipelajari. Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai hubungan yang baik, dan diharapkan dapat belajar bersama bersama untuk saling mengerti mengenai keputusan yang akan diambil nantinya,” kata dia.
Anthony Yeow, Presiden Direktur PT Hindoli, mengatakan perusahaannya telah menyediakan fasilitas penangkapan gas rumah kaca di kebun sehingga dapat menyimpan sampai 65% dari yang ditetapka Uni Eropa sebesar 35%. Angka ini sesuai dengan hasil audit dari International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) di perkebunan Hindoli. Luas lahan yang diaudit untuk perkebunan inti sekitar 9.900 hektare dan perkebunan plasma seluas 3.800 hektare. Selain itu,
Supaya dapat menghema pengeluaran gas rumah kaca, PT Hindoli mengurangi pemakaian pupuk tunggal yang berunsur nitrogen. Alternatif lain, menurut Anthony, sudah mulai digunakan pupuk NPK karena lebih slow release. “Pupuk NPK pun juga lebih ramah lingkungan kepada tanah,” ujar dia.
Menurut Anthony, perusahaan lebih memprioritaskan budidaya sawit berkelanjutan (sustainability) di seluruh perkebunan. Kendati, sebagai perusahaan juga didorong untuk menghasilkan keuntungan. “Sustainable sanga penting bagi perusahaan kami karena telah menjadi perhatian seluruh dunia. Jadi, kami ingin ,” kata dia.
Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian mengatakan pemakaian instalasi penangkap gas rumah kaca oleh pabrik kelapa sawit masih terhambat tingginya biaya. Meski demikian, kedatangan delegasi EPA ke Indonesia diharapkan akan memperoleh informasi yang dapat dikaji secara kooperatif dan menciptakan kesepakatan yang dapat dihasilkan bersama.