Penjualan benih sawit tahun ini berada di titik terendah sepanjang 12 tahun terakhir. Lesunya sektor hulu (perkebunan) berdampak buruk kepada penyerapan benih. Pada 2016, penjualan benih diperkirakan anjlok 40% menjadi 66,9 juta kecambah.
“Kami prihatin dengan dengan penjualan benih di bulan Juni dan Juli kemarin. Pelanggan ragu-ragu sehubungan rencana moratorium sawit. Selain, banyak juga libur setelah lebaran,” kata Hasril Siregar, Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit kepada SAWIT INDONESIA.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit adalah produsen benih sawit tertua dan terbesar di Indonesia. Potensi produksi lembaga yang berada di Medan ini mencapai 50 juta kecambah per tahun. Tahun 2014 dan 2015, masing-masing produksi benih sawitnya 26,6 juta dan 23,5 juta kecambah. “Tetapi tahun ini diperkirakan penjualan benih PPKS 18 juta sampai 19 juta kecambah. Penjualan sampai September tahun ini baru 11,7 juta kecambah,” ujar Hasril.
Kebijakan moratorium ijin baru sawit yang sedang dirancang pemerintah berdampak besar kepada penjualan benih. Pada akhirnya pelaku sawit menahan ekspansi sambil menunggu terbitnya aturan baru moratorium.
Pada tahun ini, penjualan benih seluruh produsen diperkirakan turun antara 30%-40%. “Penjualan benih stagnan karena pelaku swasta dan pekebun enggan untuk menanam. Dengan pertimbangan supaya tidak berbenturan dengan aturan pemerintah,” kata Bambang Dirjen Perkebunan dalam sambungan telepon.
Andi Suwignyo, General Manager PT Socfin Indonesia, memperkirakan penjualan benih sawit perusahaan tahun ini bisa turun 41% menjadi sekitar 15 juta kecambah dari tahun lalu. Rendahnya permintaan dapat terlihat hingga September 2016 baru terjual 10,1 juta kecambah. Penyebabnya sama seperti dikatakan Hasril Siregar terkait iklim industri dan aturan pemerintah yang membatasi perluasan industri sawit.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Majalah SAWIT INDONESIA, penjualan benih sawit tahun ini diperkirakan 66,9 juta kecambah yang berada di titik terendah sepanjang 12 tahun terakhir. Merujuk kepada Artikel Tony Liwang dkk yang berjudul Analisa Dinamika Perkembangan Industri Benih Sawit di Indonesia disebutkan bahwa permintaan benih sawit erat kaitannya dengan pertambahan lahan yang dipicu peningkatan harga minyak sawit pada 2004/2005 dan 2007/2008.
Tercatat tahun 2004, penjualan benih sawit di pasar domestik berjumlah 76,34 juta kecambah lalu meningkat menjadi 80,24 juta kecambah pada 2005. Kala itu, baru lima produsen benih sawit pada 2005 yaitu PPKS, PT Socfindo, PT London Sumatra Tbk, PT Dami Mas Sejahtera, dan PT Tunggal Yunus Estate (Topaz).
Jumlah penjualan benih meningkat drastis setelah tahun 2008. Penyerapan benih sawit dari produsen lokal mencapai 94,34 juta kecambah pada 2009 dan 97,62 juta kecambah pada 2010. Semenjak tahun 2008, jumlah produsen benih bertambah menjadi 8 perusahaan antara lain PPKS, PT Socfindo, PT London Sumatra Tbk, PT Dami Mas Sejahtera, PT Tunggal Yunus Estate (Topaz), PT Bina Sawit Makmur, PT Tania Selatan, dan PT Bakti Tani Nusantara.
Kebutuhan benih sawit mencapai puncaknya pada 2012 dengan jumlah 171.031 juta kecambah. Memasuki tahun ini pemain benih bertambah dua perusahaan yaitu PT Sasaran Ehsan Mekarsari dan PT Bakti Tani Nusantara. Total produsen sebanyak 11 perusahaan.
Selepas tahun 2012, permintaan benih mulai berkurang akibat minimnya ketersediaan lahan. Tekanan paling kuat berasal dari aturan pemerintah seperti moratorium. Pada 2013, penjualan benih secara nasional sebanyak 127,9 juta kecambah. Dua tahun berikutnya merosot menjadi 93,5 juta kecambah.
Berharap replanting
Hindarwati, Sekretaris Jenderal Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan Indonesia, menjelaskan bahwa konsumen kecambah sawit terutama dari perkebunan besar swasta berkembang cukup pesat 10 tahun terakhir ini. Sedangkan, PTPN dan perkebunan rakyat perkembangan pembangunan kebun baru relatif kecil. “Dengan moratorium pembangunan perkebunan sawit akhir-akhir ini mengakibatkan permintaan benih turun drastis,”ujarnya.
Walaupun pemerintah berkeinginan memperbaiki produktivitas melalui kebijakan moratorium sawit, bukan berarti pelaksanaanya berjalan mudah. Dwi Asmono, Ketua Forum Kerjasama Produsen Benih Sawit, menyebutkan moratorium ini ada sisi positif, namun banyak negatifnya kepada industri sawit. Sisi positifnya adalah perusahaan fokus memperkuat intensifikasi. Dampak buruknya yang pasti moratorium mengurangi perluasan lahan.
(Ulasan lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 November-15 Desember 2016)