Wayan Supadno punya tips jitu untuk menekan biaya produksi petani. Caranya petani beternak sapi supaya kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Selain itu, biaya herbisida dapat berkurang karena gulma menjadi pakan ternak.
“Karena 60% biaya pokok produksi itu dikontribusikan dari pemakaian pupuk dan herbisida. Ini tidak bisa dipungkiri. Jika 60-65% biaya tadi berkurang, maka pendapatan petani meningkat tajam,” ujar Wayan.
Saran dari Wayan ini bukanlah sebatas teori. Ia sudah menerapkan pola integrasi sawit-sapi di kebun sawitnya yang berlokasi di Desa Pasir Panjang, Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Pola ini telah dijalankan semenjak dua tahun lalu. Hingga sekarang, ia berhasil mengelola 60 ekor sapi yang di kebunnya.
Dari hitungan, pria berusia 52 tahun ini, biaya pokok produksi petani sekitar Rp 900 per kilogram dapat ditekan menjadi Rp400 per kilogram. Asalkan petani mau beternak sapi. Alhasil, petani dapat menikmati profit margin tinggi.
“Profit harus dinikmati petani sawit. Untuk membasmi gulma itu butuh biaya, padahal gulma bisa menjadi rezeki buat kita (petani). Penting sekali menerapkan perkebunan yang terintegrasi dengan sapi kalau ingin berkelanjutan. Biaya produksi dapat ditekan dan produktivitas meningkat,” ungkap bapak tiga anak ini.
Sukses mengawinkan pola sawit-sapi. Banyak perusahaan dan peneliti yang datang ke perkebunan Wayan Supadno. Ia bercerita bahwa jajaran direksi serta manajemen PT Astra Agro Lestari Tbk pernah ke kebunnya, selanjutnya ia diminta menjadi narasumber saat rakor internal perusahaan. Begitupula dengan PT Socfindo, produsen benih sawit pernah datang ke kebun. Wayan Supadno pernah pula diminta sebagai narasumber Pusat Penelitian Kelapa Sawit dalam berkaitan integrasi sawit-sapi serta pemupukan berimbang organik, hayati, dan kimia. Selain itu, Purnawirawan TNI Angkatan Darat sering diundang sebagai pembicara dan motivator di perguruan tinggi salah satunya ITB.
Sebelum menjadi petani, Wayan Supadno adalah perwira TNI Angkatan Darat. Namun, ia lebih memilih fokus berkebun dan bertani. Pilihan Wayan tidak salah. Kini, usahanya tersebar di tiga lokasi: Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Banyuwangi (Jawa Timur), dan Bogor. Asetnya telah mencapai Rp 150 miliar. Selain kebun, Anak pasangan petani Tupon Warniasih dan Suwarno asal Banyuwangi ini mengelola bisnis pupuk hayati sampai transportasi TBS Sawit.
Berikut ini petikan wawancara kami dengan Wayan Supadno melalui jawaban tertulis dan sambungan via telepon. Saran kepada para petani, jika ingin kaya maka harus berani inovasi.
Apa motivasi bapak menjadi petani?
Awalnya dua profesi (TNI dan Petani) saya tekuni. Lambat laun seiring berjalannya waktu usaha yang saya tekuni semakin besar. Sehingga tidak bisa menjalankan kedua profesi tersebut lagi. Karena bebannya berat selalu sibuk dan di kantor lama-lama sungkan.
Yang penting, saya tidak mau bangkrut lagi karena kurang fokus. Kalau bangkrut, kasihan karyawan saya. Makanya saya harus memilih.
Sejak kapan bapak menjadi petani sawit?
Awal saya mengenal sawit pada akhir 1995 di Pematang Siantar. Pertama kali, saya nebus (beli) lahan 2,5 hektar dari petani transmigrasi. Di Sulawesi, orangtua sempat transmigrasi tetapi gagal. Lalu, ia mengajak orangtuanya ke Kandis, Riau, membeli lahan kaplingan plasma seharga Rp 3,5 juta dengan luas 2 hektare kebun buah pasir dan 0,5 hektare pekarangan rumah. Saat itu, ia berpangkat Letnan Dua CKM yang bertugas di Resimen Induk Kodam(Rindam) I/Bukit Barisan Pematang Siantar, tugasnya sebagai pelatih militer. Di situ saya mengenal sawit. Lho kok enak, kemudian saya beli lagi 3 kapling. Terus berkembang dari 40 hektar menjadi 700 hektar. Hasil dari itu, saya buka klinik.
Apa motivasi bapak mendirikan klinik?
Saya membuka klinik untuk menjalankan bisnis. Awalnya saat kut ABRI Masuk Desa (AMD) di daerah Pelalawan Pangkalan Kerinci. Di sana ada PT RAPP,perkembangan masyarakat cukup pesat dan banyak pasar tetapi tidak ada klinik. Saya bersama istri buka klinik sekitar periode 2000-an. Istri saya saya bidan. Lalu tumbuh dan berkembang, maka dibangunlah apotik, rumah bersalin, IGD, dan rawat inap. Akhirnya dibuat rumah sakit merekrut tenaga profesional seperti dokter spesialis. Selain itu, kami mengembangkan usaha supplier produk farmasi di kebun sawit.
Saat mengembangkan bisnis property dan rumah toko (ruko), disinilah saya merasakan namanya bangkrut. Ruko sudah jadi tetapi batal dibeli. Akhirnya, duit operasional rumah sakit digunakan untuk properti. Tahun 2009, saya benar-benar jatuh. Modal habis dan utang dimana-mana. Saat itu, utang di bank mencapai 50 miliar. Akhirnya, direstrukturisasi oleh bank.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 102)