Musim hujan telah tiba. Saat yang ditunggu petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pemupukan. Namun demikian petani pun harus waspada, terutama adanya penyakit yang mematikan pada kelapa sawit yang disebabkan oleh jamur Ganoderma, karena Ganoderma menyukai cuaca yang lembab. Di Indonesia, Ganoderma dapat tumbuh pada pH 3-8.5 dengan temperatur optimal 30oC dengan kelembaban tinggi. Namun Ganoderma dapat terganggu pertumbuhannya pada suhu 15oC dan 35oC, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40oC (Abadi dan Dharmaputra, 1988; Dharmaputra et al., 1993). Jamur Ganoderma dapat ditemukan dan tersebar di seluruh dunia, tumbuh subur pada tanaman tahunan, termasuk jenis pohon jarum dan palem-paleman. Beberapa spesies Ganoderma adalah jamur pembusuk kayu, beberapa jenis bersifat patogen dan merugikan terhadap tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan tanaman tahunan. Selain pada tanaman kelapa sawit, Ganoderma juga penyebab kebusukan pada akar dan batang pada berbagai tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa, karet, betelnut, teh, kakao, persik dan pir, guarana, anggur dan pohon hutan seperti Acacia, Populus dan Macadamia. Di ekosistem hutan, Ganoderma memiliki peran ekologis dalam proses pemecahan senyawa lignin pada jaringan kayu.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam replanting dari lahan bekas hutan atau bekas tanaman karet, penyakit busuk pangkal batang (BPB) oleh Ganoderma mulai terlihat serangannya pada tanaman kelapa sawit usia sekitar 10 – 12 tahun (Singh, 1991). Tingkat serangan pada awalnya rendah, yaitu hanya 1-2% dari total populasi. Pada saat tanaman kelapa sawit mencapai umur 25 tahun dan siap untuk penanaman kembali, serangan BPB bisa mencapai 25% (Singh, 1991). Dalam replanting bekas tanaman kelapa, penyakit BPB pada kelapa sawit bisa muncul jauh lebih awal, yaitu pada usia 1-2 tahun setelah tanam namun sifat serangan BPB masih sporadis. Baru pada tahun kedua belas, serangan penyakit mulai mengganas dimana ia dapat memusnahkan populasi sampai lebih dari 15%, meningkat menjadi 60% 4 tahun kemudian (Singh, 1991). Dalam peremajaan tanaman kelapa sawit, serangan BPB dapat mencapai 22% pada tahun ke-sepuluh, meningkat menjadi 40% 4 tahun kemudian (Singh, 1991). Tingkat serangan BPB yang tinggi juga dicatat oleh Khairudin (1990b) pada kelapa sawit yang ditanam kembali dengan cara uderplanting. Dalam hal ini, serangan BPB dapat mencapai 33% pada usia 15 tahun. Tingkat serangan 25% pada usia kelapa sawit 10 tahun terjadi pada lahan bekas kelapa (Ariffin et al., 1996.). Dua tahun kemudian serangan meningkat menjadi 40%.
Penyakit mematikan yang disebabkan oleh Ganoderma ini tengah mengancam jutaan hektar pertanaman sawit di Indonesia. Menurut Dr. Darmono Taniwiryono, Direktur Ganoderma Center dan mantan Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Perkebunan, di lapangan serangan penyakit BPB pada perkebunan kelapa sawit khususnya di wilayah Sumatera Utara sudah berada pada kondisi mengkhawatirkan. Darmono menjelaskan bahwa berdasarkan contoh kasus hasil sensus yang dilakukannya pada salah satu perkebunan kelapa sawit di wilayah Sumatera, dalam satu hektare tanaman kelapa sawit umur 14 tahun generasi ke 3 dan ke 4 serangan penyakit BPB mencapai 50%. Jika tanaman kelapa sawit sudah terserang BPB maka cepat atau lambat tanaman akan menjumpai kematiannya. Sementara itu, berdasarkan rekaman data serangan OPT yang diperoleh Direktorat Jenderal Perkebunan serangan penyakit BPB terjadi di Sumatera Utara (2.691 hektare), Bengkulu (678 hektare), dan Aceh (135 hektare). Diduga serangan penyakit BPB ini sudah banyak terjadi di luar ke tiga provinsi ini namun belum dilaporkan.