Pemerintah wajib mengawasi aliran dana yang berasal dari negara lain untuk kegiatan restorasi gambut. Ada kepentingan tersembungi dibalik aliran dana asing. Dana restorasi tersebut seharusnya melalui skema G to G, tidak dikucurkan langsung kepada lembaga dan individu.
Kebutuhan dana restorasi gambut sebesar Rp 25 triliun tidak akan cukup dipenuhi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan restorasi akan diambil dari hibah negara lain. Setiap dolar yang masuk ke Indonesia perlu diwaspadai karena ada kepentingan di dalamnya.
Ricky Avenzora, Pengamat Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan dana yang berasal dari negara pendonor untuk Badan Restorasi Gambut (BRG) wajib diawasi dan dibuat aturan main yang jelas.
Dikatakan Ricky, pemerintah tidak belajar seperti gagalnya pelaksanaan LoI Indonesia-Norwegia terkait moratorium. Dari janji US$ 1 miliar dana moratorium baru terealisasi US$ 30 juta itupun susah mendapatkannya.
“Pemerintah harusnya membuat situasi kondusif bukan memperumit sebab pada ujungnya pemerintah pasti tidak punya dana untuk memperbaiki lahan yang sudah terbakar,” jelas Ricky.
Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut, mengakui tidak semua sumber pembiayaan restorasi dari APBN. Nantinya, pendanaan akan disokong dari kementerian maupun APBD.
Bantuan dari negara donor, menurutnya, akan masuk untuk program restorasi gambut. Pendanaan dari negara atau lembaga donor asing terbagi dua skema yaitu aliran dana masuk keuangan pemerintah dan dana yang diberikan kepada pihak pelaku restorasi.
“Kemenkeu (Kementerian Keuangan) sedang mempersiapkan sistem pendanaan. Jadi kalau itu sudah siap, donor bisa masuk ke kemenkeu,” kata Nazir.
Menurutnya, sistem monitoring akan dibuat kredibel dan transparan supaya dapat menambah kepercayaan publik dan negara pendonor. “Ini perlu dilakukan supaya mereka mau kasih uang. Donor ini terbuka bisa bersumber dari dalam maupun luar negeri,” ujarnya.
Aviliani, Pengamat Ekonomi, menuturkan pendanaan melalui kebijakan G to G (Government to Government ) akan menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas dana BRG. Pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan LSM lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi. Apalagi, masyarakat dan dunia usaha di Indonesia “tidak percaya” kepada kredibilitas LSM lingkungan.
“Masalahnya, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. Mereka kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain,” kata Aviliani.
Senada dengan Aviliani. Ricky Avenzora meminta LSM transparan mengenai aliran sumber dana dan pemanfaatannya. Pasalnya,banyak LSM berkelit dengan kegiatannya yang dibiayai individu sebagai donatur. Oleh karena itu, semakin mengguritanya gerakan LSM harus menjelaskan kegiatan dan siapa donaturnya.
Berdasarkan penelusurannya pada 7 dan 20 Januari 2016, ternyata lebih dari 44 juta dolar AS hibah dana lingkungan dikucurkan kepada berbagai LSM lingkungan dan institusi lain di Indonesia. Dana itu berasal lembaga Climate and Land Use Alliance (CLUA) yang berpusat di San Francisco, California, AS.
LSM dan institusi penerima dana lingkungan tersebut diantaranya HuMa (575 ribu dolar AS), Jerat (114 ribu dolar AS), FPP (3.573.477 dolar AS), AMAN (699.826 dolar AS), JKPP (800 ribu dolar AS), KKI WARSI (95.289 dolar AS), Kemitraan (1.230.400 dolar AS), Mongabay Org Corp (735 ribu dolar AS), RAN (2.096,000 dolar AS), dan Samdhana Inc. (3.922,429 dolar AS).
“Kebanyakan LSM Lingkungan sangat tendensius untuk menyudutkan semua pihak dan bahkan mencatut nama rakyat. Tidak jarena mereka cenderung untuk memperkeruh konflik dan menarik keuntungan dari konflik yang terjadi,” ujarnya.
Menurut Aviliani, pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan sosial dan lingkungan. “Jauh sebelum BRG bediri, dunia usaha seperti industri kepala sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya.
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Maret-15 April 2016)