Cipta Kerja klaster ketenaga kerjaan memastikan perlindungan tenaga kerja untuk dapat memperoleh hak-haknya
Klaster Ketenaga kerjaan menjadi bagian penting UU Nomor 11/2020 terkait Cipta Kerja. Sebab, kluster ini bersinggungan dengan regulasi sebelumnya di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan. Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenaga kerjaan Kementerian Ketenaga kerjaan RI, Yuli Adiratna mengutarakan ada satu hal krusial dalam UU Cipta Kerja sehingga harus sama-sama saling memahami dan dikaitkan dengan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan.
“Tidak semua yang ada di UU Ketenaga kerjaan digantikan dengan UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenaga kerjaan, ada beberapa pasal yang diubah, ditambah dan dihapus,” ujar Yuli saat menjadi pembicara dialog webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021).
Selanjutnya, Yuli mengatakan kalau tidak dihapus berarti di UU Ketenaga kerjaan masih eksis berlaku. “Yang harus diperhatikan, tidak semua UU Ketenaga kerjaan digantikan dengan UU Cipta Kerja. Bisa dilihat dalam pasal 81 UU Cipta Kerja,” tegasnya.
Substansi pokok dalam UU Cipta Kerja memastikan perlindungan terhadap tenaga kerja agar dapat memeroleh hak-haknya.Tak terkecuali, implikasi pada industri hulu sawit (red; perkebunan sawit) juga memberlakukan norma, norma adalah aturan atau regulasi yang berlaku di perusahaan.
Salah satunya adalah pemberlakuan waktu kerja masih sama. Di dalam UU Cipta Kerja mengakomodir 7 jam sehari atau 8 jam sehari (40 jam seminggu). “Tetapi ada perubahan sedikit dan ada penambahan, dalam UU Cipta kerja mengakomodir ekosistem tenagakerja yang adaptif. Artinya menyesuaikan dengan perubahan, sebagai contoh waktu kerja disesuaikan dengan pekerja, tetapi apakah di industri sawit bisa diterapkan,” kata Yuli.
“Jadi, ini untuk mengakomodir kaum milenial yang memiliki karakteristik tidak mau bekerja di satu perusahaan dengan keahlian khusus yang bisa bekerja di beberapa perusahaan. Sehingga dalam satu hari bisa bekerja di beberapa perusahaan dengan jumlah jam 8-10 jam sehari. ini sudah mengemuka apa lagi dengan berkembangnya teknologi digital,” imbuh Yuli.
Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga mengatur sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bahkan, kata Yuli memang ada perlakuan khusus, esensinya bisa memperluas lapangan kerja dan menumbuhkan investasi. “Lalu, menumbuh kembangkan UMKM yang berkontribusi besar maka diberi kesempatan yang cukup untuk mengembangkan serta berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi,” kata pria lulusan Hukum, Universitas Gajah Mada (UGM).
UU Cipta Kerja juga mengatur perjanjian kerja yang bersifat tetap dan sementara, ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu TidakTertentu (PKWTT).
“Di Industri sawit, banyak pekerja dari vendor karena di kebun banyak vendor supplier tenaga kerja. Jadi, diantara vendor dan perusahaan sawit terdapat hubungan bisnis. Sedangkan, pekerja yang ikut vendor punya perjanjian PKWT atau PKWTT,” terangYuli.
Yang tak kalah penting dari UU Cipta Kerja yang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada aturan sebelumnya, PKWT tidak mendapatkan apa-apa setelah selesai masa kerja (kontrak) tetapi dengan disahkannya UU Cipta Kerja. PKWT yang sudah selesai kontrak mendapat kompensasi baik PKWT dan PKWTT. Untuk Hak PHK masih sama, artinya ada pengaturan bekerja dan pekerja yang di-PHK akan menerima hak kompensasinya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)